Ayahanda R.Soekari meninggalkan wasiat buku silsilah yang ditulis dalam huruf Jawa dan disalin saya, silsilah berawal dari Sunan Bayat atau nama lainnya Pangeran Mangkubumi atau Susuhunan Tembayat atau Sunan Pandanaran dua (II) atau Wahyu Widayat, Sunan Bayat adalah tokoh penyebar agama islam di Jawa yang disebut-sebut dalam sejumlah babad serta cerita-cerita lisan, Sunan Bayat terkait dengan sejarah kota Semarang dan penyebaran awal agama Islam di Jawa. Makam Sunan Bayat terletak di perbukitan "Gunung Jabalkat" di wilayah Kecamatan Bayat - Klaten - Jawa Tengah dan masih ramai diziarahi orang hingga sekarang. Dari sana pulalah konon Sunan Bayat menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat wilayah Mataram. Sunan Bayat dianggap hidup pada masa Kesultanan Demak (abad ke-16).Terdapat beberapa versi mengenai turunan Sunan Bayat, dengan adanya blog ini saya harap dapat mempersatukan, saling melengkapi dan bersilaturrahmi antar teturunan Sunan Bayat khususnya keluarga R. Soekari bin R.Kromodiwirjo.

Sunan Bayat adalah leluhur dari R.Soekari Kromodiwirjo.

Raden Soekari Kromodiwirjo adalah keturunan dari Sunan Bayat sebagaimana tertulis didalam catatan silsilah keluarga Soekari yang ditulis dalam huruf Jawa.

Pangeran Bayat atau Susuhunan Tembayat mempunyai gelar Sunan Pandanaran atau juga dikenal dengan sebutan Sunan Bayat yang makamnya terletak di perbukitan Jabalkat, Bayat Klaten, Jawa Tengah. Sunan Bayat mempunyai putera yang tinggal berpisah pisah, diantara putra putrinya tersebut salah satunya tinggal di Kampak, Trenggalek, Tulungagung sebagai Pengageng Merdiko, yaitu R.Ronosentiko.

R.Ronosentiko mempunyai putera 2 orang yaitu,

1. R.Kromodiwirjo,

Mantri Tondo di Distrik Kampak Trenggalek, waktu itu pajak masih ke Solo.

2. R.Malangdiwirjo, Mantri Sarang burung Munjungan Trenggalek, pajak masih ke Solo.

R.Kromodiwirjo, mempunyai putera 3 orang yaitu :


1. R.Karmonodiwirjo, Pengageng Merdiko Distrik Panggul. Dibunuh oleh Belanda, dipotong menjadi 3 bagian dibuang secara terpisah (konon karena kesaktiannya, supaya tidak hidup kembali). Kepalanya ditancap ditonggak diletakkan diperempatan jalan, lehernya dibuang ke sungai hanyut sampai ke laut selatan , sedangkan badannya dikubur di Barat Sungai Nggayam Panggul. Beliau tidak mempunyai putera atau tidak jelas keterangannya.


2. R.Brontodiwirjo, Demang Senden Kampak, Trenggalek, mempunyai putera
1 orang yaitu, R.Kromodiwirjo (nama nunggak semi), juga sebagai Demang Senden Kampak, Trenggalek.


3. R.Karjodiwirjo, Demang Bendo Kampak, Trenggalek, berputera 7 orang yaitu,

1.R.Prawirodiwirjo, 2.R.Padmodiwirjo, 3.R.Hargodiwirjo, 4.Rr.Soetarminah, 5.R.Notowasito, 6.R.Djora /Mudjio, 7.R.Soewadi /Poedjodiwirjo.

R.Kromodiwirjo (nama nunggak semi) mempunyai isteri R.AyuSoemirah berputera 11 orang yaitu,
1.R.Soenito Hardjo
2.R.Samad Prawiro Sentono
3.Rr.Oemi
4.R.Moeradji Sastrodipuro/ Sastrodiwirjo
5.R.Koesno/ Soepardi (kembar)
6.R.Maliat Wido Sadjono (kembar)
7.Rr.Soetjilah
8.R.Soekari
9.R.Soedjadno
10.R.Soekandar
11.Rr.Soeistilah

1).R.Soenito Hardjo,

mempunyai putera 5 orang yaitu,
1.R.Rustamgushadji /Harminto, 2.R.Haripi (Makasar), 3.Rr.Djami Sriani, 4.Rr.Rukmini, 5.R.Hadi (Surabaya).


2).R.Samad Prawiro Sentono /Soewadji mempunyai istri Muinah,

berputera 6 orang yaitu,
1.Rr.Suwarni, 2.R.Sunari, 3.Rr.Murtini, 4.Rr.Murdiyah, 5.R.Mursidi, 6.Rr.Sri.


3).Rr.Oemi x Muljono

berputera 4 orang yaitu,
1. R.Mulyono Slamet, 2.R.Rustam Adji, 3.Rr.Srimulyani, 4.Rr.Ruby.


4).R.Moeradji Sastrodipuro,

berputera 3 orang yaitu,
1.R.Fatah /Totok, 2.Rr.Ni, 3.R.Hadi.


5).R.Koesno /Soepardi x Siti Suwarni

berputera 11 orang yaitu,
1.Rr. Kustinah, 2.Rr.Suratmini, 3.R.Sunjoto, 4.R.
Suprapto, 5.Rr.Kustijah 6.R.Suharsono,

7.R.Suhardi /Djoko, 8.R.Sumedi, 9.R.Sudradjat, 10.R.Suhartono, 11.R.Suharikusno.


6).R.Maliat Widosadjono

mempunyai putera 1 orang yaitu,

1.Rr.Watini


7).Rr.Soetjilah, tidak mempunyai putera.


8).R.Soekari mempunyai istri Soekarmi, berputera 3 orang yaitu,
1.Rr.Winarti, 2.R.Timbul Sudjoko Wahono, 3.R.Suko Wahyudi.

9).R.Soedjatmo, Tidak mempunyai putera (?).

10).R.Soekandar, Tidak mempunyai putera (?).

11).Rr.Soeistilah, Tidak mempunyai putera (?).


Selasa, 15 Januari 2013

Wong Jowo ilang Jawane



Wong Jowo ilang Jawane.


Kajawan, ora nJawani.
Sudah lama saya amati dan sangat memprihatinkan bahwa saya sangat khawatir lambat laun orang Jawa akan kehilangan jati dirinya, yaitu melupakan adat budayanya sendiri budaya leluhur yang adiluhung. Terutama beberapa kaum muda Jawa, apalagi yang hidup dikota kota besar telah terkontaminasi dengan budaya luar yang sok modern,terkadang sok santri dan takut dibilang tidak ngetrend, tidak populer dan kampungan bahkan memang tidak tahu sama sekali. Ada beberapa  orang tua sudah enggan untuk memberikan nasehat atau mengingatkan anak anak muda seperti kami dulu. Coba perhatikan umumnya pada beberapa pasangan muda jaman sekarang, cara mendidik anak anaknya, banyak diantara mereka enggan menasehati dan memberi contoh yang baik kepada anaknya sehingga hal tersebut selain dapat membahayakan diri si anak tersebut juga kadang kala menyusahkan orang lain. Beberapa orang tua jarang memberikan pengertian apa maksud dari pelarangan pelarangan yang diberikannya, begitu juga dengan maksud kenapa kita harus berdoa, jika doa di bunyikan hanya sebagai lafal dan tidak diberikan pengertian yang hakiki terhadap maksud dan tujuan berdoa maka kita akan kehilangan esensi berdoa, maksud dan tujuan dan kepada siapa kita berdoa. Berdoa di sampaikan hanya sebagai ucapan kiasan, tidak diiringi dengan pemahaman budi pekerti kenapa doa itu dipanjatkan. Beberapa orang tua sudah bangga bila anak anak bisa menghafal doa sebelum tidur atau doa sebelum makan dan lainnya. Barangkali mereka menganggap apabila sudah bisa menghafal doa doa atau sedikit mengaji sudah yakin anak telah terdidik dengan baik. Padahal seharusnya dari kecil anak anak mesti ditekankan dan ditanamkan ajaran berbudi pekerti. Inilah sesungguhnya awal dasar pendidikan yang akan berkelanjutan sampai mereka dewasa nanti. Bagaimana menghormati bapak dan ibu guru, orang tua, teman teman, bertoleransi,malu bila berbuat keliru, mau meminta maaf bila salah,tidak pelit pada teman, rukun dan masih banyak lagi. Dulu ketika saya SD, ada orangtua yang kita kenal atau bapak ibu guru yang kita lewati karena kita naik sepeda, saya selalu menyapa ; “Saya duluan pak/bu.” dan ini adalah hal yang lumrah karena kita malu bila dikatakan sebagai anak yang kurang sopan. Kalau dikampung akan ketahuan anak siapa, serta berdampak jelek kepada orang tua kita masing masing. Coba pehatikan umumnya anak anak SD sekarang, betapa mereka beraninya dan biasa saja terhadap guru gurunya. Bahkan anak SMP, SMA, seolah tak ada batas menganggap gurunya sebagai teman. Mahasiswa yang katanya kaum intelektual banyak yang sibuk tawuran. Disamping kewibawaan sang guru yang sudah pudar,ini semua tak lepas dari kealpaan kebanyakan orang orang tua jaman kini, kealpaan para pemimpin bangsa.

Aturan totokromo, unggah ungguh, sopan santun, isin, sungkan, teposliro, ngrumangsani sudah hilang dari diri sebahagian orang Jawa pada umumnya, yang ada mau menange dhewe mau pintere dhewe lan dadi sakkarepe dhewe. Orang Jawa yang tuapun sekarang sudah tidak nJawani, lupa bahwa dia orang Jawa. Lihat para pejabat kita, banyak yang orang Jawa, pandai tapi ora nJawani. Sudah tidak punya rasa malu,sungkan apalagi etika totokromo, teposliro, rakyate podho sengsoro, gedhe pamrih lan nafsune sehingga merusak tatanan Negeri ini. Banyak maling, koruptor, sikut sana sikut sini,apalagi bila kita melihat TV, banyak kemunafikan yang ada. Lali nek mengkono iku “ora ilok”.  Sing dadi penggedhe malah njajah bongsone dhewe. Orang Jawa pasti pernah mendengar kata kata seperti ini; “ Lha wong anake ora “Jowo ” karo wong tuane.” (Lha anaknya tidak “Jowo” dengan orang tuanya) atau “ Bojone ora “Jowo” karo mertuane.” (Suaminya/istrinya tidak “Jowo” dengan mertuanya). “Jowo” disini bisa diartikan “baik/perhatian/tidak pelit/dan hal hal baik lainnya”. Jadi bayangkan saja bagaimana seharusnya tingkah laku seorang Jawa sehari harinya, karena kata “Jawa” sendiri sudah menjadi arti yang baku yaitu “kelakuan atau sesuatu yang baik”. Oleh karena itu apabila ada orang Jawa yang menyimpang dari aturan aturan Jawa maka disebut tidak “nJawani.” Dulu orang orang luar menyebut kita adalah bangsa yang ramah dan periang, sekarang bangsaku banyak beringas dan berang. Dulu leluhur kita dengan adat dan budayanya pernah berjaya dan kesohor sampai keluar negeri serta disegani sampai beberapa generasi, sekarang mati mati dijajah secara ekonomi. Bahkan yang sangat membahayakan kita dan anak cucu sekarang ini adalah ; Kita ini “dibunuh” secara pelan pelan oleh “saudara sendiri”. Bayangkan betapa ngerinya, hampir semua makanan yang dijual dibubuhi dengan “racun”, mulai dari beras, sayuran dan buah buahan. Diawetkan disuntik, diberikan pemutih, semua tidak takut dosa tidak takut kuwalat !  Walaupun hal ini bukan perbuatan sebagian orang Jawa saja. Maksud saya sebagai pejabat “Jawa” cepatlah bertindak untuk mengatasi hal hal seperti ini dan jadilah pelopor yang berpatokan pada ajaran nenek moyang dan falsafah Jawa yang luhur tadi. Apa tidak khawatir bahwa bangsa ini nantinya akan jadi bangsa yang sakit raga dan jiwanya. Seperti halnya Islam, adalah agama Rahmatanlilalamin begitupun orang Jawa juga mempunyai falsafah, Memayu hayuning bawono  yang artinya secara keseluruhan sama : Manusia hidup di Dunia harus mengusahakan keselamatan,kebahagiaan serta kesejahteraan seluruh umat dan alam semesta  bahkan di Jawa ada tambahannya Ambrastho dur Hangkoro yang artinya memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak. Alangkah bahagia apabila kita bisa mencontoh akhlak Rasulullah, Nabi kita begitu rendah hati, begitu sopan santun sehingga siapapun yang datang kepadanya, ia akan berkata ; “Doakanlah diriku, keluargaku, sahabatku….” Padahal bukanlah beliau yang membutuhkan doa kita. Kitalah yang membutuhkan doa beliau.

Sudah lama orang Jawa sudah diajarkan ilmu sabar,sumeleh,pasrah, nrimo ing pandum. Wong kang sabar lan narimo wekasane bakal pikantuk ganjaran soko kang Moho Kuoso. Seperti yang dikatakan dibeberapa ayat, antara lain surat Al-Baqarah
(2) : 153.  “Hai orang orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang orang yang sabar.” ada juga disurat Al-Anfaal (8) : 66, serta sabda Rasulullah. Jangan dianggap nrimo dan pasrahnya orang Jawa tidak berbuat, tetapi nrimo dan kepasrahan orang Jawa adalah sesuatu kesabaran, keikhlasan dan pengertian yang sangat dalam kepada kehendak Tuhannya.

Kemarin di Pasar Minggu sambil menunggu teman, saya numpang duduk didekat ibu penjual sayur, badannya agak kurus aclum kurang tidur. Kebetulan pula orang Jawa. 
“ Sekarang sepi kok pak mboten kados ndhek mbiyen, ini sudah jam 9.00, 25 iket aja belum abis.” katanya. Ibu ini jualan Bayam ikat, daun singkong ikat dan kecambah. 
“ Tadi malam dari jam berapa ?” tanyaku. 
“ Jam sedoso pak ampun ten mriki, biasane jam pitu mpun wangsul.”…… 
“ Tapi pak,” terusnya 
“ Tuhan niku adil.” Sambungnya cepat cepat seperti orang yang takut kualat. 
“ Adile ten pundi buk ?” tanyaku lagi. 
“ Lha riyen niko pak kulo tasih nguliyahake anak wedok. Riyen niku kulo nek mbeto satus sampek satus seket iket, jam pitu mpun telas, jam sementen niki kulo mpun ngaso ten nggriyo. Rumiyin diparingi luwih kalih Gusti Alloh lha sakniki bocahe mpun lulus S1 dadi biayane mpun kurang mboten kathah melih. Mbok menawi sakniki selawe iket mawon cukup.” jawabnya kalem dengan bahasa Jawa pasar yang kentel. 
“Jawane pundi buk ?” tanyaku . 
“ Yoja pak ngaler.” jawabnya sambil sekali sekali menata dagangannya lagi. 
“ Lha disini tinggal dimana ?” tanyaku lagi pengin tahu. 
“ Nggih kontrak pak kalih anak wedok wau, Alhamdulillah pak mpun nyambut damel ten Sunter. Jane nggih mpun mboten angsal kerjo kalih piyambake, ning wong mpun biasa nyambut gawe dos pundi malih. Nggih dilakoni mawon.”

Saya sangat simpati dan terinspirasi dengan Ibu Jawa penjual sayur ini. Bila kita kaji dari kata katanya yang ikhlas dia tidak protes terhadap siapapun bahkan dalam kesulitan menjual dagangannya dia seakan maklum, tetapi tetap bekerja keras. Dari jam 10.00 malam sampai jam 9.00 pagi. Dan Ibu itu “nrimo ing pandum” serta pasrah dengan kehendak Tuhan dia tetap sabar dan berusaha. Dengan mengeluh berbicara “sepi” saja dia cepat cepat meralat ucapannya, bahwa “Tuhan itu adil”, dia takut kualat karena kemarin waktu anaknya masih kuliah dia sadar bahwa sudah diberikan rejeki yang cukup untuk membiayai anaknya tersebut. Biarpun badannya kurus, lusuh dan wajahnya kuyu kurang tidur, bahasanya  bahasa Jawa pasar, tetapi Ibu ini “sangat Jawa”. Sangat jauh berbeda dengan kebanyakan pejabat pejabat Negeri ini yang orang Jawa tapi hilang “Jawanya”.

Saya seorang Islam Jawa, tentu saja ingin tetap ngleluri budaya leluhur. Sebelum Islam masuk ke Negeri ini sudah ada adat istiadat aturan nenek moyang Jawa yang sangat luhur ada yang hanya beda istilah didalam Islam, yang terkadang disalah kaprahkan dan orang Jawa yang tidak mengerti mengiyakan atau yang sudah pinter belajar dari luar negeri mau merubah tatanan. Oleh karena itu, “ Ayo wong Jowo yo dadi Jowo, ojo ditinggal warisane poro leluhur ben ora ilang Jawane. Sing islam yo Islam, sing budo yo Budo, sing hindu yo Hindu, sing kristen yo Kristen. Bagi orang Jawa Islam, sebetulnya kita ini sudah cukup Islam, janganlah hidup dalam ilusi, seolah dengan memelihara jenggot dan berjubah panjang lebih Islam. Itu adalah adat dan budaya berpakaian masing masing negara, itu hanya penampilan, contohlah akhlak Rasulullah. Saya petik sedikit kata kata Kangjeng Sunan Kalijogo sebagai berikut : “ Ojo nganggo sarung palekat,wong Jowo yo budayane Jowo.” Islam tetap Islam ning Jowo. Saya rasa kita tetap indah dan Islam bila kita ke Mesjid pakai sarung batik dengan baju lurik misalnya. Selain melestarikan budaya sendiri juga mempromosikan produksi dalam negeri, toh tak kalah gaya kita memakainya. Ketimbang nanti diaku oleh bangsa Malingsia. Kojur ane !

Suatu kali saya pergi ke Samosir, saya tertarik barang barang souvenir yang dijual disana, saya mencoba tanya harga dengan nada suara yang agak tinggi/keras menyesuaikan seperti kebanyakan orang orang itu, karena saya pikir ini di kampung orang Batak, saya tak mau kalah stan. Sungguh saya salah kira, ternyata mereka ramah, suaranya tak meledak ledak seperti Simbolon teman aku di Jakarta, malu aku. Begitu juga beberapa tahun yang lalu kami pergi ke pelosok di wilayah Jember tepatnya di desa Sumberjambe, Sukosari, kebanyakan orang Madura banyak tinggal disana. Ketika saya sedang bertamu dan duduk duduk diteras lantas ada seorang yang lewat dijalan depan rumah, serta merta seorang Madura tersebut dengan sopan menyapa kami “Ngapora” katanya, bahkan orang yang sedang lewat naik delmanpun bilang kepada kami ngapora kala itu. Beda bila kita melihat seorang Madura di Surabaya yang sudah terkontaminasi dengan kemajuan atau kehidupan ini;  “ Dha’rema dhek dhek, kalo ndhak punya dhuit ndhak usah gang pegang.” Suatu kali ketika ingin beli buah di kaki lima dan nggak jadi, atau ketika kita naik becak sang pengemudi ngebut dan kita menegurnya : “ Pelan pelan bang !”  Jawabnya; “ Telongewu saj ja mentak slamet.” Begitu pula halnya di Jawa Barat, ketika saya pergi ke suatu kampong saya berpapasan dan tidak mengenal orang itu, mereka menegur saya dengan “punten” katanya sambil telapak tangan kanannya lurus kebawah badannya agak membungkuk sedikit. Itu tadi beberapa contoh dari beberapa daerah yang masih murni. Jadi saya yakin asli bangsa kita ini atau leluhur leluhur bangsa kita ini, sangatlah berbudi pekerti dan mempunyai sopan santun yang sangat tinggi. Dalam tulisan ini sesungguhnya saya ingin mengajak seluruh suku suku bangsa di Indonesia ini terutama orang Jawa untuk ingat kembali kepada ajaran budaya dan adat istiadat leluhur masing masing.  Saya percaya para orang orang tua dahulu selalu mengajarkan kebaikan dan belum tersentuh dan terpengaruh budaya dari luar serta politik asing. Batak,Padang,Kalimantan,Sunda,Bugis,Madura,Ambon dst ingat kepada ajaran orang orang tua kita yang luhur untuk bersatu mengembalikan keterpurukan Negeri tercinta ini. Budaya adalah pondasi bangsa.

Sejatine wong Jowo tidak sekedar diajarkan “ora ilok”,“ wedi dosa ”,” wedi kuwalat ” dan selalu ingat sama yang “ Nggawe urip ”, tetapi dari bayi procot sudah diajarkan bagaimana kita hidup, perilaku kita di Dunia, budi pekerti ajaran yang sangat luhur. Ini semua telah kita lupakan, dasar dasar perilaku hidup ini kita lupakan dan terkadang kita hanya mendengar kotbah Surga Neraka saja. Jika boleh saya mengusulkan kepada Mendikbud, mata pelajaran Budi Pekerti dimasukkan dalam mata pelajaran pokok dan salah satu yang menentukan bisa lulus tidaknya siswa. Sebahagian orang Jawa sudah lupa begitu banyak nasehat dan falsafah Jawa yang masjhur,sampai orang Barat sendiri ingin mempelajarinya. Sebagai orang Jawa marilah kita eleng eleng supoyo ora lali tetap ngleluri ajaran luhur hidup orang Jawa.

Jakarta.2011
RM HS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar