Ayahanda R.Soekari meninggalkan wasiat buku silsilah yang ditulis dalam huruf Jawa dan disalin saya, silsilah berawal dari Sunan Bayat atau nama lainnya Pangeran Mangkubumi atau Susuhunan Tembayat atau Sunan Pandanaran dua (II) atau Wahyu Widayat, Sunan Bayat adalah tokoh penyebar agama islam di Jawa yang disebut-sebut dalam sejumlah babad serta cerita-cerita lisan, Sunan Bayat terkait dengan sejarah kota Semarang dan penyebaran awal agama Islam di Jawa. Makam Sunan Bayat terletak di perbukitan "Gunung Jabalkat" di wilayah Kecamatan Bayat - Klaten - Jawa Tengah dan masih ramai diziarahi orang hingga sekarang. Dari sana pulalah konon Sunan Bayat menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat wilayah Mataram. Sunan Bayat dianggap hidup pada masa Kesultanan Demak (abad ke-16).Terdapat beberapa versi mengenai turunan Sunan Bayat, dengan adanya blog ini saya harap dapat mempersatukan, saling melengkapi dan bersilaturrahmi antar teturunan Sunan Bayat khususnya keluarga R. Soekari bin R.Kromodiwirjo.

Sunan Bayat adalah leluhur dari R.Soekari Kromodiwirjo.

Raden Soekari Kromodiwirjo adalah keturunan dari Sunan Bayat sebagaimana tertulis didalam catatan silsilah keluarga Soekari yang ditulis dalam huruf Jawa.

Pangeran Bayat atau Susuhunan Tembayat mempunyai gelar Sunan Pandanaran atau juga dikenal dengan sebutan Sunan Bayat yang makamnya terletak di perbukitan Jabalkat, Bayat Klaten, Jawa Tengah. Sunan Bayat mempunyai putera yang tinggal berpisah pisah, diantara putra putrinya tersebut salah satunya tinggal di Kampak, Trenggalek, Tulungagung sebagai Pengageng Merdiko, yaitu R.Ronosentiko.

R.Ronosentiko mempunyai putera 2 orang yaitu,

1. R.Kromodiwirjo,

Mantri Tondo di Distrik Kampak Trenggalek, waktu itu pajak masih ke Solo.

2. R.Malangdiwirjo, Mantri Sarang burung Munjungan Trenggalek, pajak masih ke Solo.

R.Kromodiwirjo, mempunyai putera 3 orang yaitu :


1. R.Karmonodiwirjo, Pengageng Merdiko Distrik Panggul. Dibunuh oleh Belanda, dipotong menjadi 3 bagian dibuang secara terpisah (konon karena kesaktiannya, supaya tidak hidup kembali). Kepalanya ditancap ditonggak diletakkan diperempatan jalan, lehernya dibuang ke sungai hanyut sampai ke laut selatan , sedangkan badannya dikubur di Barat Sungai Nggayam Panggul. Beliau tidak mempunyai putera atau tidak jelas keterangannya.


2. R.Brontodiwirjo, Demang Senden Kampak, Trenggalek, mempunyai putera
1 orang yaitu, R.Kromodiwirjo (nama nunggak semi), juga sebagai Demang Senden Kampak, Trenggalek.


3. R.Karjodiwirjo, Demang Bendo Kampak, Trenggalek, berputera 7 orang yaitu,

1.R.Prawirodiwirjo, 2.R.Padmodiwirjo, 3.R.Hargodiwirjo, 4.Rr.Soetarminah, 5.R.Notowasito, 6.R.Djora /Mudjio, 7.R.Soewadi /Poedjodiwirjo.

R.Kromodiwirjo (nama nunggak semi) mempunyai isteri R.AyuSoemirah berputera 11 orang yaitu,
1.R.Soenito Hardjo
2.R.Samad Prawiro Sentono
3.Rr.Oemi
4.R.Moeradji Sastrodipuro/ Sastrodiwirjo
5.R.Koesno/ Soepardi (kembar)
6.R.Maliat Wido Sadjono (kembar)
7.Rr.Soetjilah
8.R.Soekari
9.R.Soedjadno
10.R.Soekandar
11.Rr.Soeistilah

1).R.Soenito Hardjo,

mempunyai putera 5 orang yaitu,
1.R.Rustamgushadji /Harminto, 2.R.Haripi (Makasar), 3.Rr.Djami Sriani, 4.Rr.Rukmini, 5.R.Hadi (Surabaya).


2).R.Samad Prawiro Sentono /Soewadji mempunyai istri Muinah,

berputera 6 orang yaitu,
1.Rr.Suwarni, 2.R.Sunari, 3.Rr.Murtini, 4.Rr.Murdiyah, 5.R.Mursidi, 6.Rr.Sri.


3).Rr.Oemi x Muljono

berputera 4 orang yaitu,
1. R.Mulyono Slamet, 2.R.Rustam Adji, 3.Rr.Srimulyani, 4.Rr.Ruby.


4).R.Moeradji Sastrodipuro,

berputera 3 orang yaitu,
1.R.Fatah /Totok, 2.Rr.Ni, 3.R.Hadi.


5).R.Koesno /Soepardi x Siti Suwarni

berputera 11 orang yaitu,
1.Rr. Kustinah, 2.Rr.Suratmini, 3.R.Sunjoto, 4.R.
Suprapto, 5.Rr.Kustijah 6.R.Suharsono,

7.R.Suhardi /Djoko, 8.R.Sumedi, 9.R.Sudradjat, 10.R.Suhartono, 11.R.Suharikusno.


6).R.Maliat Widosadjono

mempunyai putera 1 orang yaitu,

1.Rr.Watini


7).Rr.Soetjilah, tidak mempunyai putera.


8).R.Soekari mempunyai istri Soekarmi, berputera 3 orang yaitu,
1.Rr.Winarti, 2.R.Timbul Sudjoko Wahono, 3.R.Suko Wahyudi.

9).R.Soedjatmo, Tidak mempunyai putera (?).

10).R.Soekandar, Tidak mempunyai putera (?).

11).Rr.Soeistilah, Tidak mempunyai putera (?).


Selasa, 15 Januari 2013

Asal usul Dari Eyang Putri R.Ayu Soemirah

Asal usul Dari Eyang Putri R.Ayu Soemirah

Dari R.Tumenggung Setjodiningrat Bupati Pekalongan, yang juga berasal dari Bayat.

I. R.Atmo Seputro, Mantri Kabupaten Mbatang, berputera 1 orang yaitu,
   1. R.Atmo Widjojo, Jaksa Trenggalek mempunyai putera 6 orang yaitu,
      1). R.Kerto Atmodjo
      2). R.Karjo Atmodjo, Wedono Guru Pacitan
      3). R.Poerwo Atmodjo, Merdiko
      4). R.Merto Atmodjo, Merdiko
      5). Tidak jelas menjadi isteri Guru santri
      6). R.Nganten Moertiningrum isteri x R.Mas Tumenggung Mangun Negoro, Bupati  Trenggalek.

I.1.1). R.Kerto Atmodjo, mempunyai putera 6 orang yaitu,
          1. R.Kerto Dihardjo
          2. R.Marto
          3. R.Bagindo Lut
          4. Tidak jelas, Mantri lumbung Kertosono
          5. R.Nganten Roes, isteri x Tubagus Rengulu Bogor,  Nganjuk
          6. Tidak jelas, isteri x Asisten Wedono Sanan Blitar

I.1.2). R.Karjo Atmodjo, mempunyai putera 8 orang yaitu,
          1. R.Danu Atmodjo
          2. R.Nganten Karjo Diwirjo
          3. R.Nganten Tjokro Hardjo
          4. R.Nganten Setro Redjo
          5. R.Nganten Wignjodipuro
          6. R.Nganten Soemirah mempunyai suami  x R.Kromodiwirjo
          7. R.Nganten Soero Prawiro
          8. R.Sosro Atmodjo.

4 Putra lainnya, 3.R.Poerwo Atmodjo, 4.R.Merto Atmodjo, 5.Istri Guru Santri dan 6.R.Nganten Murtiningrum, tidak jelas keterangannya.

Ciri Wanci Lali Ginowo Mati



Ciri wanci lali ginowo mati.

Bethari Durgo
Tabiat dan watak memang susah diubah
Dewi Pramoni yang berparas cantik jelita itu tiba-tiba terbangun dari
semedinya ketika ada sinar terang benderang,    ternyata dihadapannya
sudah berdiri Bethoro Guru yang  ditemani oleh Bethoro Kolo dan Dewi Umayi yang berujud Raseksi tetapi berhati luhur dan berbudi. Sang Raja Dewa Dewi dari Kahyangan itu menegurnya :

“ Wahai Dewi Pramoni, aku sudah mengerti maksud dan tujuanmu melakukan tapa brata tak henti-hentinya sehingga penghuni Kahyangan menjadi gerah. Aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu sebagai permaisuriku, karena sebagai pemimpin para Dewa aku harus mempunyai seorang istri yang mempunyai watak tabiat dan budi yang luhur. Kamu memang mempunyai paras yang cantik jelita dan menarik, tetapi hatimu dan watakmu tidak secantik rupamu.” “ Duh Sang Bethoro,” jawab Dewi Pramoni. “Hamba telah berusaha untuk mendapatkan keinginan hamba ini supaya dapat mendampingi pukulun dengan bertopobroto berhari-hari ternyata sia-sia.”

Akhirnya Bethoro Kolo usul kepada Bethoro Guru, apakah setuju apabila badan wadag Dewi Pramoni yang cantik ditukar dengan tubuh Dewi Umayi yang berujud Raksasa perempuan. Bila dengan tubuh yang tidak cantik lagi Dewi Pramoni dapat merubah sifat dan wataknya yang jelek itu, Bethoro Guru akan mengabulkan permintaannya. Dewi Pramoni setuju. Dengan kesaktiannya Sang Bethoro Gurupun merobah keduanya. Dewi Umayi berubah menjadi cantik jelita sedangkan Dewi Pramoni berubah ujud menjadi Raseksi yang berbadan besar, bermuka menyeramkan dan giginya bertaring menakutkan.

Tabiat dan watak memang susah diubah.
Ternyata Dewi Pramonipun tidak pernah berubah. Watak dan tabiatnya yang buruk akhirnya sama dengan ujud dan rupanya yang juga menjadi buruk. Akhirnya malah mengumpulkan para Gendruwo, syetan, thethekan, dhedhemit gundhul pecengis dan lainnya serta menjadi Ratu dari para lelembut itu dengan julukan “ Bethari Durgo “ dan sekarang bersemayam di istananya Setro Gondomayit..

JAKARTA, 8 Desember 2010. dari kisah pewayangan Bethari Gedheng Permoni.

RM Haryo SEMPRUL.
Sebagai peringatan keluarga yang selama ini dipecah belah oleh anak angkat Ayah Ibuku. Kini semua telah mengerti dan selamat dari Sang Bethari yang sebetulnya tidaklah cantik jelita. Alhamdulillah. Ciri wanci lali ginowo mati, sifat dan watak yang buruk susah sekali dirubah, hanya bisa berubah setelah mati.

Wong Jowo ilang Jawane



Wong Jowo ilang Jawane.


Kajawan, ora nJawani.
Sudah lama saya amati dan sangat memprihatinkan bahwa saya sangat khawatir lambat laun orang Jawa akan kehilangan jati dirinya, yaitu melupakan adat budayanya sendiri budaya leluhur yang adiluhung. Terutama beberapa kaum muda Jawa, apalagi yang hidup dikota kota besar telah terkontaminasi dengan budaya luar yang sok modern,terkadang sok santri dan takut dibilang tidak ngetrend, tidak populer dan kampungan bahkan memang tidak tahu sama sekali. Ada beberapa  orang tua sudah enggan untuk memberikan nasehat atau mengingatkan anak anak muda seperti kami dulu. Coba perhatikan umumnya pada beberapa pasangan muda jaman sekarang, cara mendidik anak anaknya, banyak diantara mereka enggan menasehati dan memberi contoh yang baik kepada anaknya sehingga hal tersebut selain dapat membahayakan diri si anak tersebut juga kadang kala menyusahkan orang lain. Beberapa orang tua jarang memberikan pengertian apa maksud dari pelarangan pelarangan yang diberikannya, begitu juga dengan maksud kenapa kita harus berdoa, jika doa di bunyikan hanya sebagai lafal dan tidak diberikan pengertian yang hakiki terhadap maksud dan tujuan berdoa maka kita akan kehilangan esensi berdoa, maksud dan tujuan dan kepada siapa kita berdoa. Berdoa di sampaikan hanya sebagai ucapan kiasan, tidak diiringi dengan pemahaman budi pekerti kenapa doa itu dipanjatkan. Beberapa orang tua sudah bangga bila anak anak bisa menghafal doa sebelum tidur atau doa sebelum makan dan lainnya. Barangkali mereka menganggap apabila sudah bisa menghafal doa doa atau sedikit mengaji sudah yakin anak telah terdidik dengan baik. Padahal seharusnya dari kecil anak anak mesti ditekankan dan ditanamkan ajaran berbudi pekerti. Inilah sesungguhnya awal dasar pendidikan yang akan berkelanjutan sampai mereka dewasa nanti. Bagaimana menghormati bapak dan ibu guru, orang tua, teman teman, bertoleransi,malu bila berbuat keliru, mau meminta maaf bila salah,tidak pelit pada teman, rukun dan masih banyak lagi. Dulu ketika saya SD, ada orangtua yang kita kenal atau bapak ibu guru yang kita lewati karena kita naik sepeda, saya selalu menyapa ; “Saya duluan pak/bu.” dan ini adalah hal yang lumrah karena kita malu bila dikatakan sebagai anak yang kurang sopan. Kalau dikampung akan ketahuan anak siapa, serta berdampak jelek kepada orang tua kita masing masing. Coba pehatikan umumnya anak anak SD sekarang, betapa mereka beraninya dan biasa saja terhadap guru gurunya. Bahkan anak SMP, SMA, seolah tak ada batas menganggap gurunya sebagai teman. Mahasiswa yang katanya kaum intelektual banyak yang sibuk tawuran. Disamping kewibawaan sang guru yang sudah pudar,ini semua tak lepas dari kealpaan kebanyakan orang orang tua jaman kini, kealpaan para pemimpin bangsa.

Aturan totokromo, unggah ungguh, sopan santun, isin, sungkan, teposliro, ngrumangsani sudah hilang dari diri sebahagian orang Jawa pada umumnya, yang ada mau menange dhewe mau pintere dhewe lan dadi sakkarepe dhewe. Orang Jawa yang tuapun sekarang sudah tidak nJawani, lupa bahwa dia orang Jawa. Lihat para pejabat kita, banyak yang orang Jawa, pandai tapi ora nJawani. Sudah tidak punya rasa malu,sungkan apalagi etika totokromo, teposliro, rakyate podho sengsoro, gedhe pamrih lan nafsune sehingga merusak tatanan Negeri ini. Banyak maling, koruptor, sikut sana sikut sini,apalagi bila kita melihat TV, banyak kemunafikan yang ada. Lali nek mengkono iku “ora ilok”.  Sing dadi penggedhe malah njajah bongsone dhewe. Orang Jawa pasti pernah mendengar kata kata seperti ini; “ Lha wong anake ora “Jowo ” karo wong tuane.” (Lha anaknya tidak “Jowo” dengan orang tuanya) atau “ Bojone ora “Jowo” karo mertuane.” (Suaminya/istrinya tidak “Jowo” dengan mertuanya). “Jowo” disini bisa diartikan “baik/perhatian/tidak pelit/dan hal hal baik lainnya”. Jadi bayangkan saja bagaimana seharusnya tingkah laku seorang Jawa sehari harinya, karena kata “Jawa” sendiri sudah menjadi arti yang baku yaitu “kelakuan atau sesuatu yang baik”. Oleh karena itu apabila ada orang Jawa yang menyimpang dari aturan aturan Jawa maka disebut tidak “nJawani.” Dulu orang orang luar menyebut kita adalah bangsa yang ramah dan periang, sekarang bangsaku banyak beringas dan berang. Dulu leluhur kita dengan adat dan budayanya pernah berjaya dan kesohor sampai keluar negeri serta disegani sampai beberapa generasi, sekarang mati mati dijajah secara ekonomi. Bahkan yang sangat membahayakan kita dan anak cucu sekarang ini adalah ; Kita ini “dibunuh” secara pelan pelan oleh “saudara sendiri”. Bayangkan betapa ngerinya, hampir semua makanan yang dijual dibubuhi dengan “racun”, mulai dari beras, sayuran dan buah buahan. Diawetkan disuntik, diberikan pemutih, semua tidak takut dosa tidak takut kuwalat !  Walaupun hal ini bukan perbuatan sebagian orang Jawa saja. Maksud saya sebagai pejabat “Jawa” cepatlah bertindak untuk mengatasi hal hal seperti ini dan jadilah pelopor yang berpatokan pada ajaran nenek moyang dan falsafah Jawa yang luhur tadi. Apa tidak khawatir bahwa bangsa ini nantinya akan jadi bangsa yang sakit raga dan jiwanya. Seperti halnya Islam, adalah agama Rahmatanlilalamin begitupun orang Jawa juga mempunyai falsafah, Memayu hayuning bawono  yang artinya secara keseluruhan sama : Manusia hidup di Dunia harus mengusahakan keselamatan,kebahagiaan serta kesejahteraan seluruh umat dan alam semesta  bahkan di Jawa ada tambahannya Ambrastho dur Hangkoro yang artinya memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak. Alangkah bahagia apabila kita bisa mencontoh akhlak Rasulullah, Nabi kita begitu rendah hati, begitu sopan santun sehingga siapapun yang datang kepadanya, ia akan berkata ; “Doakanlah diriku, keluargaku, sahabatku….” Padahal bukanlah beliau yang membutuhkan doa kita. Kitalah yang membutuhkan doa beliau.

Sudah lama orang Jawa sudah diajarkan ilmu sabar,sumeleh,pasrah, nrimo ing pandum. Wong kang sabar lan narimo wekasane bakal pikantuk ganjaran soko kang Moho Kuoso. Seperti yang dikatakan dibeberapa ayat, antara lain surat Al-Baqarah
(2) : 153.  “Hai orang orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang orang yang sabar.” ada juga disurat Al-Anfaal (8) : 66, serta sabda Rasulullah. Jangan dianggap nrimo dan pasrahnya orang Jawa tidak berbuat, tetapi nrimo dan kepasrahan orang Jawa adalah sesuatu kesabaran, keikhlasan dan pengertian yang sangat dalam kepada kehendak Tuhannya.

Kemarin di Pasar Minggu sambil menunggu teman, saya numpang duduk didekat ibu penjual sayur, badannya agak kurus aclum kurang tidur. Kebetulan pula orang Jawa. 
“ Sekarang sepi kok pak mboten kados ndhek mbiyen, ini sudah jam 9.00, 25 iket aja belum abis.” katanya. Ibu ini jualan Bayam ikat, daun singkong ikat dan kecambah. 
“ Tadi malam dari jam berapa ?” tanyaku. 
“ Jam sedoso pak ampun ten mriki, biasane jam pitu mpun wangsul.”…… 
“ Tapi pak,” terusnya 
“ Tuhan niku adil.” Sambungnya cepat cepat seperti orang yang takut kualat. 
“ Adile ten pundi buk ?” tanyaku lagi. 
“ Lha riyen niko pak kulo tasih nguliyahake anak wedok. Riyen niku kulo nek mbeto satus sampek satus seket iket, jam pitu mpun telas, jam sementen niki kulo mpun ngaso ten nggriyo. Rumiyin diparingi luwih kalih Gusti Alloh lha sakniki bocahe mpun lulus S1 dadi biayane mpun kurang mboten kathah melih. Mbok menawi sakniki selawe iket mawon cukup.” jawabnya kalem dengan bahasa Jawa pasar yang kentel. 
“Jawane pundi buk ?” tanyaku . 
“ Yoja pak ngaler.” jawabnya sambil sekali sekali menata dagangannya lagi. 
“ Lha disini tinggal dimana ?” tanyaku lagi pengin tahu. 
“ Nggih kontrak pak kalih anak wedok wau, Alhamdulillah pak mpun nyambut damel ten Sunter. Jane nggih mpun mboten angsal kerjo kalih piyambake, ning wong mpun biasa nyambut gawe dos pundi malih. Nggih dilakoni mawon.”

Saya sangat simpati dan terinspirasi dengan Ibu Jawa penjual sayur ini. Bila kita kaji dari kata katanya yang ikhlas dia tidak protes terhadap siapapun bahkan dalam kesulitan menjual dagangannya dia seakan maklum, tetapi tetap bekerja keras. Dari jam 10.00 malam sampai jam 9.00 pagi. Dan Ibu itu “nrimo ing pandum” serta pasrah dengan kehendak Tuhan dia tetap sabar dan berusaha. Dengan mengeluh berbicara “sepi” saja dia cepat cepat meralat ucapannya, bahwa “Tuhan itu adil”, dia takut kualat karena kemarin waktu anaknya masih kuliah dia sadar bahwa sudah diberikan rejeki yang cukup untuk membiayai anaknya tersebut. Biarpun badannya kurus, lusuh dan wajahnya kuyu kurang tidur, bahasanya  bahasa Jawa pasar, tetapi Ibu ini “sangat Jawa”. Sangat jauh berbeda dengan kebanyakan pejabat pejabat Negeri ini yang orang Jawa tapi hilang “Jawanya”.

Saya seorang Islam Jawa, tentu saja ingin tetap ngleluri budaya leluhur. Sebelum Islam masuk ke Negeri ini sudah ada adat istiadat aturan nenek moyang Jawa yang sangat luhur ada yang hanya beda istilah didalam Islam, yang terkadang disalah kaprahkan dan orang Jawa yang tidak mengerti mengiyakan atau yang sudah pinter belajar dari luar negeri mau merubah tatanan. Oleh karena itu, “ Ayo wong Jowo yo dadi Jowo, ojo ditinggal warisane poro leluhur ben ora ilang Jawane. Sing islam yo Islam, sing budo yo Budo, sing hindu yo Hindu, sing kristen yo Kristen. Bagi orang Jawa Islam, sebetulnya kita ini sudah cukup Islam, janganlah hidup dalam ilusi, seolah dengan memelihara jenggot dan berjubah panjang lebih Islam. Itu adalah adat dan budaya berpakaian masing masing negara, itu hanya penampilan, contohlah akhlak Rasulullah. Saya petik sedikit kata kata Kangjeng Sunan Kalijogo sebagai berikut : “ Ojo nganggo sarung palekat,wong Jowo yo budayane Jowo.” Islam tetap Islam ning Jowo. Saya rasa kita tetap indah dan Islam bila kita ke Mesjid pakai sarung batik dengan baju lurik misalnya. Selain melestarikan budaya sendiri juga mempromosikan produksi dalam negeri, toh tak kalah gaya kita memakainya. Ketimbang nanti diaku oleh bangsa Malingsia. Kojur ane !

Suatu kali saya pergi ke Samosir, saya tertarik barang barang souvenir yang dijual disana, saya mencoba tanya harga dengan nada suara yang agak tinggi/keras menyesuaikan seperti kebanyakan orang orang itu, karena saya pikir ini di kampung orang Batak, saya tak mau kalah stan. Sungguh saya salah kira, ternyata mereka ramah, suaranya tak meledak ledak seperti Simbolon teman aku di Jakarta, malu aku. Begitu juga beberapa tahun yang lalu kami pergi ke pelosok di wilayah Jember tepatnya di desa Sumberjambe, Sukosari, kebanyakan orang Madura banyak tinggal disana. Ketika saya sedang bertamu dan duduk duduk diteras lantas ada seorang yang lewat dijalan depan rumah, serta merta seorang Madura tersebut dengan sopan menyapa kami “Ngapora” katanya, bahkan orang yang sedang lewat naik delmanpun bilang kepada kami ngapora kala itu. Beda bila kita melihat seorang Madura di Surabaya yang sudah terkontaminasi dengan kemajuan atau kehidupan ini;  “ Dha’rema dhek dhek, kalo ndhak punya dhuit ndhak usah gang pegang.” Suatu kali ketika ingin beli buah di kaki lima dan nggak jadi, atau ketika kita naik becak sang pengemudi ngebut dan kita menegurnya : “ Pelan pelan bang !”  Jawabnya; “ Telongewu saj ja mentak slamet.” Begitu pula halnya di Jawa Barat, ketika saya pergi ke suatu kampong saya berpapasan dan tidak mengenal orang itu, mereka menegur saya dengan “punten” katanya sambil telapak tangan kanannya lurus kebawah badannya agak membungkuk sedikit. Itu tadi beberapa contoh dari beberapa daerah yang masih murni. Jadi saya yakin asli bangsa kita ini atau leluhur leluhur bangsa kita ini, sangatlah berbudi pekerti dan mempunyai sopan santun yang sangat tinggi. Dalam tulisan ini sesungguhnya saya ingin mengajak seluruh suku suku bangsa di Indonesia ini terutama orang Jawa untuk ingat kembali kepada ajaran budaya dan adat istiadat leluhur masing masing.  Saya percaya para orang orang tua dahulu selalu mengajarkan kebaikan dan belum tersentuh dan terpengaruh budaya dari luar serta politik asing. Batak,Padang,Kalimantan,Sunda,Bugis,Madura,Ambon dst ingat kepada ajaran orang orang tua kita yang luhur untuk bersatu mengembalikan keterpurukan Negeri tercinta ini. Budaya adalah pondasi bangsa.

Sejatine wong Jowo tidak sekedar diajarkan “ora ilok”,“ wedi dosa ”,” wedi kuwalat ” dan selalu ingat sama yang “ Nggawe urip ”, tetapi dari bayi procot sudah diajarkan bagaimana kita hidup, perilaku kita di Dunia, budi pekerti ajaran yang sangat luhur. Ini semua telah kita lupakan, dasar dasar perilaku hidup ini kita lupakan dan terkadang kita hanya mendengar kotbah Surga Neraka saja. Jika boleh saya mengusulkan kepada Mendikbud, mata pelajaran Budi Pekerti dimasukkan dalam mata pelajaran pokok dan salah satu yang menentukan bisa lulus tidaknya siswa. Sebahagian orang Jawa sudah lupa begitu banyak nasehat dan falsafah Jawa yang masjhur,sampai orang Barat sendiri ingin mempelajarinya. Sebagai orang Jawa marilah kita eleng eleng supoyo ora lali tetap ngleluri ajaran luhur hidup orang Jawa.

Jakarta.2011
RM HS.

Ketika ku mengenangmu IBU

Ketika ku mengenangmu  IBU


“ mBuuuull………………….maghrib !
Surup surup kok ndhik njobo (maghrib maghrib kok diluar).” Teriak Ibu sambil masuk Jeding. “ Maghrib maghrib itu masuuuk jangan terus dihalaman nggak iloh le, banyak setan lewat ! Sembahyang sana ! nenuwun marang Gusti, ben slamet, pinter sekolahe, akeh rezekine.” Tak lama adikku yang masih sekolah di Taman Siswa masuk, pulang. Sementara masih kedengaran suara lembut ibuku dalam bahasa Jawa mendoa………………………… “ Duh Gusti ingkang Moho Suci, Engkaulah yang membuat hidup dan mati, lindungilah kami dari segala keburukan, sejahterakanlah kami, berikanlah kami jalan yang Engkau telah tunjukkan Ya Allah, jadikanlah anak anakku orang yang senantiasa berguna untuk keluarganya,saudaranya, orang tuanya, Agamanya serta Nusa dan Bangsanya. Ya Allah berikanlah kami kesehatan lahir dan batin, terima kasih atas rezeki yang telah Kau limpahkan kepada kami, Ya Allah, ampunilah kami………………………………. Amiiin.” Hatinya tegar semangatnya besar, ingatannya tajam, kasihnya tulus. Dibibirnya selalu penuh dengan doa doa panjang untuk kami anak anaknya, semoga bahagia….semoga sejahtera…..semoga….semoga…………………………
Kuingat dua bait lirik Iwan Fals dalam lagunya “ IBU “………seperti udara kasih sayang yang kau berikan, tak sanggup kumembalas Ibuu…..Ibuuu.

“Penyakit jangan dimanja ! katanya “ Mundak kerasan.” Ibu suka marah kalau kami gampang menyerah. Ibuku pandai cerita, mendongeng. Dari mulai cerita Wayang, sejarah, asal usul nama nama Kota di Jawa, Babad Tanah Jawi, juga jaman perang Kemerdekaan, Bapak dicari cari oleh Belanda, rumah kami dibakar. Waktu mengungsi, oleh Kakek ayah Ibuku, Bapak sekeluarga diambilkan daun Keladi yang berdaun lebar kalau di Jawa namanya Bentul, masing masing disuruh pakai payung daun tersebut, supaya matanya Belanda jadi “siwer” tidak melihat dan kami sekeluarga selamat meneruskan pengungsian menyeberangi kali Laor. Didalam pengungsian kakakku perempuan “kemasukan”dan menjadi pintar (dukun cilik). Dari rumah yang dibakar tersebut yang tersisa adalah Tombak dan Keris Bapak yang masih kusimpan sampai saat ini. Keanehan keanehan dan kesaktian kakek buyut dijaman penjajah, ada yang tak bisa meninggal bila tubuhnya tidak dipisah pisah akhirnya tubuhnya dipotong potong oleh Belanda ; Kepalanya ditancap di tonggak ditaruh diperempatan jalan, lehernya di hanyutkan ke sungai sampai ke laut selatan dan tubuhnya dikubur dibarat sungai Nggayam Panggul. Banyak lagi cerita cerita serupa seperti itu bahkan cerita cerita Gaib yang mengasyikkan. Sampai sekarang beberapa masih kuingat cerita itu. Apalagi cerita Wayang, antara lain kisah Mahabharata, Karno Tanding, Bisma gugur, lahirnya Wisanggeni, lahirnya Gatotkaca, Harjuno Sosrobahu serta yang lain lainnya. Dan aku paling suka tokoh pewayangan Bima, Ksatria kedua Pandawa. Malah khusus kutempa, kupesan di tukang pembuat Wayang kulit tetangga Ibu, kubawa ke Jakarta. Kala malam malam kuingat tembang menjelang tidur itu (orang Jawa bilang di uru uru). Suara Ibu memang merdu, sepotong yang kuingat.”Ojo turuu soreee kakii…ono Dewoo nganglang jagad…………dan aku terlelap sampai pagi. Ayahku punya seperangkat Gamelan. Pabila sore sore kami kumpul, Ayahku yang nggender atau nyiter, Ibu yang nembang. Pangkur, Mocopat, Kinanti, Dandang gulo, Maskumambang dan masih banyak lagi. Kami larut dengan suara Ibu dalam iringan gending gamelan Bapakku.   Tenang dan tenteram.

Ibuku adalah perempuan kebanggaanku. Beliau serba bisa, tegas, pemberani dan sebagai wanita sangat disegani. Ketrampilan Ibu banyak sekali, mulai dari menjahit, border, merajut (mbentel), membuat tas dari manik manik, sampai anyaman rotan untuk tempat buah atau hantaran. Apalagi memasak atau membuat kue, ahlinya. Bak merek Rumah makan Padang “ Bundo Kanduang,” pasti enak dan sedap rasanya karena masakan Ibunya. Ada semacam grup kolega Ibu yang selalu kumpul bila ada yang mantu atau selamatan misalnya, beliau beliau itu membantu masak atau membuat kue,  “mbiyodo” namanya. Masih jelas dibenakku beliau beliau ini adalah ; Bu Sastro, bude Jupri, bu Mangku, bu Mul, atau bu Puji bahkan Yu Yah ikut di grup Ibu  ini, aku masih menyimpan fotonya. Aku masih ingat bajuku model sendiri ala Ibu, serta jaket rajutan (sweater) dari benang wool tebal kebanggaanku. Aku masih memakainya semasa SMA. 

Ada banyak cerita lucu tentang Ibu ketika kami masih tinggal dirumah besar. Disebut rumah besar karena rumahnya memang besar dengan jendela yang tinggi dan besar, sebesar pintu rumah rumah jaman sekarang dan pintunya apalagi, pintu pintu krepyak besar warna krem yang pegangan kuncinya dari keramik oval berwarna putih, juga halaman serta pekarangan belakang yang luas, ada pohon Kelapa, Kelengkeng, Jambu klutuk, Klampok (Jambu air), Rambutan, pohon Genitu (sawo Belanda), Moris (sirsak), Menuwo, pisang, Pepaya, Jeruk Bali yang besar besar itu, Belimbing buah, belimbing Wuluh, Kopi anjing yang buahnya menempel dibatang pohon (barangkali termasuk langka sekarang ini), Kelor, buah Mengkudu dan macam macam jenis tanaman disana bahkan pohon pohon besar seperti Randu kapuk yang pohonnya kehijau hijauan menjulang tinggi, pohon Asam dan lain lainnya. Dihalaman depan juga ada tanaman Kelengkeng yang bisa dibuat ayunan dan aku pernah jatuh pingsan karenanya, serta beberapa tiang tinggi tinggi kerekan burung Perkutut Ayahku selain dikanan kiri lisplang pendopo. Disamping kanan ada jalan panjang kebelakang menuju garasi dan disisi kanannya ada pohon jambu serta tanaman pagar entah apa namanya bunganya besar putih putih wangi. Untuk memasuki rumah tersebut harus naik trap (undak undakan) hampir  1 meter lebih tingginya ke pendopo yang ditengah tengahnya ada pot besar tempat Kuping Gajah yang ditanam Ibu. Agak masuk sedikit kedalam yang masih terbuka ada meja marmer persegi delapan yang hamper bundar serta beberapa kursi kayu yang berjok rotan mengelilinginya. Untuk masuk keruang tamu dalam ada pintu kupu kupu besar. Dirumah induk ada 4 kamar besar besar dikanan kiri dan 1 kamar sedang. Dikamar kiri depan kosong biasanya untuk menginap tamu tamu famili, dikamar kiri tengah kamar keluarga yu Yah (mas Ngadiman). Kamar depan kanan diisi seperangkat gamelan Bapak dan kamar Ibu di tengah kanan, dibelakang kamar Ibu ada kamar satu lagi dan disebelah kamar tersebut ada garasi mobil. Jadi posisi garasi ada dibelakang sedang dibelakang garasi ada sepen (gudang) ada kamar lagi untuk pembantu dan dapur belakang, ditengahnya halaman kosong yang bisa langsung menuju kepekarangan belakang yang banyak tanamannya itu. Sebelah kiri belakang yang dibatasi halaman kosong tersebut berhadap hadapan dengan Sepen, kamar pembantu dan dapur, ada satu ruangan kosong dan disampingnya berderet tiga kamarmandi.Jadi dibagian belakang ini ada atapnya tetapi kanan kirinya terbuka untuk menuju ke ruangan ruangan tersebut seperti bangunan untuk orang jalan dirumah sakit. Bahkan rumah ini katanya berhantu. Suatu hari Mas Di datang dari Lumajang berdua dengan anak buahnya dan menginap dirumah. Waktu itu mas Paidi ini kalau nggak salah Danramil disana, mas Di adalah suami dari yu Siti yang sekarang tinggal di Bali, jadi menantu keponakan Ibu. Menjelang tengah malam Ibu terbangun karena mendengar suara menderum derum seolah suara tersebut dari arah garasi, karena kamar Ibu posisinya ditengah sebelah kanan dan lebih tinggi dari garasi maka kedengaran jelas dari kamar Ibu. Ibuku ini orangnya kan pemberani, biasanya Ibu kalau kedengeran sesuatu dan bilang Bapak ; “ Pak ono uwong !“ ( Pak ada orang/maling!) Bapak hanya menyahut ; “ Tikus kuwi.”  Dalam hal ini tak berpikir lama Ibu mengambil sentolop (senter) dan pentungan lalu membangunkan mas Paidi yang sedang asyik bermimpi. “ Di, Di, tangio ! montormu dicolong maling !” kata Ibu pelan membangunkan mas Di (Di, Di, bangun! Mobilmu dicuri orang!). Akhirnya semua bangun, juga supirnya mas Paidi langsung lari menuju garasi. Ternyata mobil masih utuh disana tak kurang suatu apa, akhirnya semua masing masing masuk kamar kembali melanjutkan mimpinya. Tidak lama kemudian terdengar lagi mobil distarter orang, karena tidak enak Ibu bangun sendiri tak lupa senter dan pentungan ditangan. Lewat didepan kamar supirnya mas Paidi tadi suara mobil tambah kencang, usut punya usut ternyata pak supir tadi ngoroknya ngalahin mesin diesel huuur…huuuur…rokhgg...huuuur…rokhggg…(mendengkur).
Paginya ketika ramai ramai sarapan, ibu cerita tentang hal semalam, semua tertawa atas kejadian tersebut, mana ada yang berani waktu itu orang nyuri mobil tentara, mobil sipil saja maling takut,nggak seperti sekarang meleng sedikit amblas! Entah benar entah tidak, sepengetahuanku menantu menantu keponakan baik dari pihak Bapak atau Ibu sendiri, banyak menyayangi beliau ini. Sering mereka datang mengunjungi kami dan sangat perhatian kepada Ibu ; Seperti yang kuingat mas Nyoto dan yu Tiyah putra pakde Pardi, mas Haripi yang tentara putra pakde Nito (saya masih ingat diberi oleh oleh mainan pistol pistolan), sekarang beliau berada di Makasar, mas Musiran suami yu Sri yang di Talun Blitar (mas Musiran ini sangat memuji muji Ibu), nak Mukasim suami Win Jember, orangnya agak klotokan, ceplas ceplos tetapi baik hatinya, beliau ini yang menjemput saya dan Tulus  dari Pos Polisi Jember ke Sumberwadung ketika kami mencari mereka. Ibu bercerita bahwa kasur beliau baru; “ Dikirimi Mukasim.” kata Ibu, “ Iki kasure Yang Ti wis atos ! diganti ae, ndhik kebon akeh kapuk ! ” begitu Ibu menirukan gaya nak Mukasim bicara. Waktu itu kasur kebanyakan dari kapuk, bukan spring bed macam sekarang. Terakhir nak Kasim mengolok olok saya ketika kami bertemu di Jakarta dan saya sudah ganti mobil Kijang yang sebelumnya saya pakai sedan. “ Lha iki baru mobiiil, jangan kayak kemarin, pak Mbung”katanya. Jadi aku ingat betul bahwa beliaunya ini suka sekali dengan mobil minibus (artinya bisa rame rame, tidak egois barangkali). Sayang sekali beliaunya ini tidak berumur panjang, dipanggil Sang Khaliq ketika main tennis. Mas Iskak bapaknya Budi, juga sering datang kerumah. Mas Iskak ini ipar iparan dengan mas Paidi yang ceritanya diatas mobilnya mau dicolong maling. Adalagi mas No Wajak adik yu Lik Achmad Wajak, selalu menengok Ibu. Mas No ini pernah sakit dan dirawat oleh Ibu, jadi semacam anak sendirilah. mas Dari apalagi, sering sekali datang kerumah. Jadi akhirnya kami juga dekat dengan beliau beliau ini serta ada kenang kenangan tersendiri.

Aku masih ingat juga ketika Ibu memanggil bapak Guruku, Kepala Sekolah dan pak Polisi yang marah mau menahanku, kerumah. Gara garanya Guruku kelas V SR (SD) waktu itu, menampar murid perempuan teman sekelasku dan pingsan, sehingga aku dibawa ke Kantor Polisi supaya bersaksi bahwa aku juga ditamparnya. Karena saya nggak ditampar oleh Guruku tersebut, ya aku nggak mau bohong. Pak Polisi tersebut yang anak perempuannya ikut bersaksi dan kebetulan juga sama sama teman sekelasku itu, malah marah dan membentakku sambil menghentakkan bedilnya yang LE ke lantai menakutiku dan berkata : “ Nek ora gelem ngaku, mengko kowe tak tahan tak lebokke Bui ngarep kae !” (Kalau nggak mau ngaku, nanti kamu saya tahan dan dimasukkan ke Sel di depan sana !). Saya tetap bilang tidak. Akhirnya disuruh pulang. Jadi hari itu aku terlambat pulang. Ibu tidak suka kami mampir atau main main dulu selepas sekolah. Harus pulang dulu.  Sebelum Ibu bertanya kenapa terlambat pulang, aku langsung ceritakan kejadian tersebut kepada beliau. Keesokan harinya Ibu telah memanggil Kepala Sekolah, Guruku dan ternyata juga pak Polisi yang membentak mbentakku kemarin. Sampai sekarang masih kuingat namanya, Pak Hanjono. Sepintas kudengar diruang tamu kata kata Ibu ke pak Hanjono yang Polisi tersebut.“Sekali lagi bapak membawa anak saya ke Kantor Polisi dengan tidak sepengetahuan saya,pak Hanjono akan saya tuntut. Bapak tahu bahwa anak saya masih dibawah umur,kelas V SR.” “ Ya Bu, saya minta maaf.” Kata pak Hanjono. Dan Bapakku, dengan “diamnya”itu banyak orang yang merasa segan. Pasangan yang cocok dengan Ibu. Sebulan kemudian bapak Guruku tersebut dimutasi ke Sekolah lain. Sampai sekarang aku nggak habis pikir apa ada jampi jampi atau doa doa Ibuku sehingga setiap orang yang dipanggilnya mau saja datang kerumah. Ibu memang sangat dikenal dan disegani dikota kecilku itu. Bila Ibu mau keJakarta, waktu itu diperlukan surat jalan dari Kelurahan untuk bepergian, kami nggak perlu datang ke Balai Desa untuk mengambilnya, ada staf Kelurahan yang segera mengantar surat jalan tersebut. Pokoknya bilang saja “ Diutus bu Soekari.” (disuruh bu Soekari). Pasti 100% halal. Selain dikenal, Ibu memang suka menolong, sampai sampai bila ada yang mendadak mau melahirkan dan Bidan belum lagi datang, Ibu bahkan bisa dan mau menolongnya seperti dukun bayi sampai anak itu lahir. Itu barangkali salah satu, kenapa masyarakat disana banyak menghormatinya.

“ Ibukmu seperti Raden Ajeng Kartini!” Kata salah seorang teman SR ku ketika Ibu datang kesekolah. Bahkan menurutku, Ibuku lebih cantik dari Ibu Kartini yang sebenarnya. (maaf bu Kartini ya). Ibu adalah wanita yang adil dan penuh kedisiplinan. Bangun jam setengah 4 pagi dan kami sudah sarapan jam 6 pagi. Kedisiplinan itu berlaku bagi kami semua. Sesudah kakak perempuanku, sampai kelas 2 SMP aku masih bertugas belanja sayur ke Pasar. Dahulu ke Pasar mesti membawa keranjang sendiri dari rumah, tidak seperti sekarang, kita diberikan kantong plastik oleh penjualnya sehingga menimbulkan banyak limbah. Keranjang plastik tersebut saya letakkan dibelakang punggung, pegangannya kumasukkan ketangan sampai kebahu kanan kiri seperti sayap R.Gatotkaca. Berjalan menuju pasar sambil menghafal apa yang mau dibeli, pada waktu itu malu rasanya apabila belanja membawa catatan. Bila kami tidak tahu kualitas barangnya, misalnya beli ikan, selalu bilang saja “ Diutus bu Soekari.” Pasti beres. Aku mempunyai 2 saudara kandung dan 3 saudara angkat yang diambil sejak bayi oleh Ayah Ibu, yang 1 tidak jelas, yatim piatu dan Ibu tidak pernah menjelaskan siapa dia dan yang dua adalah keponakan Bapak, putera dari pak De. Karena sikap Ibu yang adil dan bijak,tidak ada diantara kami yang kandung merasa ada anak angkat. Itupun sungguh aku baru tahu setelah SMA bahwa beberapa kakakku adalah keponakan Ayah. Ibuku senang berpuasa dan tirakat,sehingga kami atau paling tidak aku sampai saat ini terbiasa dengan hal itu. Sekali sekali kami diajaknya ikut tidur dilantai dekat pintu, meninggalkan kasur kami yang empuk. Tirakat. Ada sesuatu hal yang penting ritual yang selalu dilakukan Ibu kepadaku, semisal aku mau ujian, Ibu selalu melangkahi aku berulang 3 kali dan aku menunduk jongkok sambil merapatkan kedua telapak tanganku seperti menyembah. Itu beliau lakukan terakhir ketika aku pergi ke Jakarta ini.

Ibuku memang luar biasa. Ibu adalah kebanggaanku, seperti kata kata penyair. “ Ibuku Cuma satu, tapi wajah hatinya kulihat diserba mana. Ibuku Cuma Ibunda, antara kami ada pesona rengkuhan kuat teramat ghaib dan terasa diriku seperti lumut ganggang laut. Panjang terentang menyibak muka air, mengembara dengan ketumbuhan pucuknya. Tapi akarku tetap menghunjam kedada Bunda. Ibuku Cuma satu, tapi wajah hatinya kulihat diserba mana.”

Delapan bulan kurang lebih Ibu di Jakarta dimana anak anaknya tinggal. Itupun untuk memboyong Ibu kemari susahnya setengah mati. Dengan segala usaha dan rayuan akhirnya Ibu mau juga. “ Panas disini, aku tak tahan.” Katanya, “ Pulang saja, aku ndak apa apa disana, aku akan lebih sehat disana, dirumahku sendiri.” Dan terakhir, Ibu seolah olah menakut nakuti kami. “ Pesan Swargi (almarhum) Bapakmu, aku ndhak boleh meninggalkan rumah lama lama, bahkan aku harus mati disana. Kasihan Bapakmu nek aku tinggal disini. Kemarin aku ngimpi Bapakmu rawuh (datang), aku mau diajak pergi…………. Dhawuhe Bapakmu nangkono luwih enak.” (kata Bapakmu disana lebih enak).

Semula memang aku ingin Ibu tinggal bersama kami diJakarta, dengan pertimbangan, Ibu sudah sepuh, tinggal sendiri dirumah bersama dengan keponakkanku yang masih sekolah dan seorang pembantu. Dan yang lebih merisaukan kami, Ibu punya darah tinggi, bila mendadak ada apa apa kami terpisah 1000 kilo, tidak bisa setiap saat menengok beliau. Memang ada salah satu keponakanku perempuan sudah berkeluarga yang sangat disayang oleh Ibu disana, tapi tak serumah, mereka agak jauh juga rumah tinggalnya. Pernah suatu waktu aku terima kabar dari keponakkanku yang bersama Ibu ; “ Yangti gerah, nek biso pak Mbung kondur.”( Yangti sakit, kalau bisa pak Mbung (panggilan akrab kepadaku dari semua keponakan keponakanku) pulang). Langsung aku minta ijin Kantor dan berangkat pulang. 1 hari semalam perjalanan, pagi sampai, dengan rasa penuh kekuwatiran mobilku kencang masuk kampung, persis didepan rumah, kulihat Ibu sedang bercanda di teras dengan keponakanku tersebut. Alhamdulillah. Rupanya Ibu hanya kangen dengan kami. Tapi cutiku habis dibuatnya. (Dalam hal ini saya sangat berterimakasih kepada mbak Tatik Bidan sebelah rumah Ibu yang selalu control dan perhatian bila Yang Ti sedang sakit,begitu beliau memanggil Ibu). Semula aku membayangkan Ibu pasti akan senang tinggal di Jakarta, walaupun meninggalkan cucu kesayangannya di kampung. Seandainya sedang tak berkenan di tempatku, ya kerumah kakak perempuanku, kalau sudah nggak kerasan dirumah kakak, ya bisa kerumah adikku. Begitu seterusnya. Dan kenyataannya tak bisa. Nggak semudah itu. Ternyata banyak hal yang kita tak mengerti kehendak orang yang kita cintai ini. Banyak contoh contoh serupa seperti ini dan kebanyakan orang tua tidak mau meninggalkan rumahnya. Ibu tak bisa ikut arisan atau aktif dikumpulan Ibu Ibu koleganya seperti disana dirumahnya,orang orang teman teman seusianya yang telah bertahun tahun bergaul dan mengenalnya. Ibu akan susah menyesuaikan peradaban dan ritme Jakarta yang begitu sibuk se olah olah semua dikejar kejar oleh waktu, semua dihitung dengan uang. Beda dengan disana, dirumahnya. Tenang, tenteram tidak kesusu susu, damai. Dan banyak hal hal lain yang menjadikan Ibu tak bisa tinggal menetap di Jakarta sini. Terakhir timbul ide supaya Ibu mau tinggal di Jakarta. Ibu harus punya rumah sendiri disini, tetapi dekat dengan kami. Ibu akan berkuasa dirumahnya sendiri seperti disana. Tetapi hal ini harus siap dana, sebuah rumah di Jakarta bukanlah hal yang sedikit. Halaman rumahku memang luas, kalau Ibu mau bisa dibangun rumah kecil kecilan untuk beliau, tapi ini bukan jalan keluar, masalahnya Ibu ndhak setuju. Atau lebih baik rumah Ibu dijual, dibelikan disini, kekurangannya kita tanggung rame rame, patungan (urunan). Semua setuju. Ibu yang tak setuju. Katanya : “ Aku ora biso tinggal di Jakarta ngger, Ibu nggak mau mati disini. Kasian Bapakmu.”   Jalan buntu………………………….

Kesehatan Ibu semakin berkurang dan selalu ingin pulang. Biar bagaimanapun ternyata beliau harus pulang dan kami harus cari jalan keluar lainnya bagaimana disana nanti. Kami kalah…………………… Tapi ada satu jalan keluar lagi. Kami kan berempat (tambah satu kakak angkatku). Setahun kan 12 bulan dibagi 4 sama dengan 3. Jadi 3 bulan sekali ada yang pulang mengunjungi Ibu, dengan perhitungan cuti kan setahun sekali. Setuju. Tapi pelaksanaannya tak begitu. Aku tak tahu apa yang ada dipikiran Ibuku. Apa benar memang Ibu ingin selalu dekat dengan Bapak. Demi kebahagiaan beliau akhirnya Ibu pulang, lucunya Ibu kelihatan sehat bersemangat. Tiga bulan setelah itu, Ibuku betul betul pulang menyusul Ayah. Aku termenung memaknai semua ini. Maafkanlah kami Ibu dan Ya Allah ya Tuhanku, ampunkanlah dosa dosanya,
terimalah Ibu dan Ayahku di SurgaMU.    Amiiin.

………….Seperti udara kasih sayang yang kau berikan, tak sanggup ku membalas………….Ibuuu………………………..Ibuu.

JAKARTA, 22 Januari 1993 Peringatan seribu hari wafatnya ibundaku tercinta Soekarmi. RMHS.


Sunan Bayat

Kyai Agêng Pandhanarang Ingkang Ngimpun SOEWIGNJA

PASAREYAN ING TÊMBAYAT

Ing wêwêngkonipun dhusun Têmbayat, dumunung ing sakidulipun kitha Klathèn, udakawis 8 pal wontên makamipun, ingkang dumuginipun dintên punika taksih dipun dhatêngi tiyang saking pundi-pundi prêlu ngalap brêkah dhatêng ingkang sumare ing ngriku. Miturut cariyosipun ngakathah. makam wau pasareyanipun wali mukmin ingkang kasêbut nama Sunan Têmbayat. Nitik kawontênanipun, mèmpêr yèn dados papan pasareyanipun bangsa luhur utawi pêpundhèn. Dunungipun wontên ing gêgumuk sêmpalaning parêdèn Kidul. Saking bakuning dhusun Têmbayat kintên-kintên wontên lampahan satêngah jam. Ing sukuning gêgumuk wau wontên masjidipun sarta inggih wontên pêkênipun. Marginipun minggah dhatêng makam inggih saking pêkên wau. Sakawit lampahipun nglangkungi gapura sela, nama gapura Sêgaramuncar. Gapura wau ing sisih têngên (sisih kilèn) wontên sêratanipun, aksaranipun sampun wontên ingkang ical jalaran gêmpal. Miturut pratelanipun juru kunci, sêratanipun wau ungêlipun: Murti sarira ... jlêking ratu. Tanah parêdèn ing Têmbayat. Kaca 3. Nitik dunung sarta suraosipun, ungêl-ungêlan punika mêsthinipun kapacak kangge nyangkalani adêgipun gapura wau, manawi botên lêpat inggih punika ing taun 1488. Sasampunipun nglangkungi gapura Sêgaramuncar, marginipun dhatêng makam lajêng minggah, ngantos dumugi ing bangsal ingkang kasêbut nama bangsal jawi, inggih punika bangsal papan pakèndêlanipun tiyang jalêr. Ing sacêlakipun bangsal jawi wontên gapuranipun malih, kawastanan gapura Pangrantungan.

[1] Sajawining gapura Pangrantungan wontên padasanipun kangge nyadhiyani tiyang-tiyang ingkang badhe mlêbêt dhatêng pasareyan. Manawi sampun wisuh, sawêg mlêbêt nglangkungi gapura Pangrantungan. Ing salêbêtipun gapura Pangrantungan wontên palataranipun dipun dêgi bangsal, kawastanan bangsal nglêbêt, inggih punika bangsal papan pakèndêlanipun tiyang èstri. Marginipun dhatêng pasareyan salajêngipun taksih nglangkungi gapura tiga, inggih punika gapura Panemut, gapura Pamêncar lan gapura Balekêncur. Saking gapura Balekêncur marginipun anjog ing wêwangunan ingkang maujud kadosdene pandhapi, wiyaripun namung sawatawis mètêr pêsagi, inggih punika prabayêksa (bangsal naga?). Ing ngriku wontên padasanipun, ingkang anèh rupinipun, kawastanan gênthong Kyai Naga. Saking prabayêksa wontên undhak-undhakanipun minggah dhatêng pagêr banon ingkang ngubêngi pasareyan. Manawi sampun nglangkungi gapura ing pagêr wau sarta nglangkungi kontên kalih, sawêg dumugi ing makam. Pasareyanipun Sunan Têmbayat dumunung ing têngah. Salèr wetanipun wontên pasareyanipun kalih, inggih punika pasareyanipun garwanipun Sunan
Têmbayat: Nyai Agêng Kaliwungu lan Nyai Agêng Krakitan. Ing sisih kidul wetan wontên pasareyan sanèsipun. Miturut gotèk, pasareyanipun Nyai Agêng Madalêm, Pangeran Jiwa tuwin para sakabat: Kyai Sèh Sabuk Janur, Kali Dhatuk, Pangeran Winang, Kyai Malanggati, Kyai Banyubiru, Panêmbahan Kabul, Kyai Panêmbahan Masjid Wetan lan Kyai Panêmbahan Sumigit Wetan. Sadaya kawontênan ingkang pinanggih utawi katingal ing salêbêting wêwêngkon sarta ing sakiwa têngênipun makam, ingkang awujud yêyasan tuwin pêpasrèn, salajêngipun wontêning pangrêksa dhatêng yêyasan lan malih kathahing tiyang ingkang sami mrêlokakên dhatêng prêlu ngalap brêkah, lumintu ngantos dumugi ing dintên punika, punika sadaya ambuktèkakên bilih tumraping ngakathah ingkang sumare ing ngriku punika dipun anggêp lêluhur ingkang linangkung cundhuk kalihan wontêning gotèk ingkang nyariyosakên asli tuwin lêlampahanipun Sunan Bayat. II. KYAI AGÊNG PANDHANARANG TILAR KAMUKTÈN Miturut gotèk ingkang sumêbar, lêlampahanipun Sunan Bayat punika kados ingkang kaandharakên ing ngandhap punika. Sadèrèngipun dêdunung wontên ing Têmbayat ngantos madêg wali mukmin, Sunan Bayat punika dados bupati ing Sêmarang, jêjuluk Kyai Agêng Pandhanarang. Nalika taksih wontên ing Sêmarang Kyai Agêng Pandhanarang kacariyos nêngênakên sangêt dhatêng kadonyan, tansah ngudi indhaking donya-brananipun. Anggènipun ngupados indhaking bandha dipun rencangi rêkaos. Mila inggih kêlampahan dados sugih andêrbala. Ewasamantên mêksa botên kêndhat anggènipun nyambut damêl nglêmpakakên bandha. Kacariyos ing Dêmak para wali sami kêmpalan wontên ing mêsjid. Ing ngriku sami nggubêl dhatêng Sunan Kalijaga, kapurih ngadêgakên wali satunggal malih, supados cacahipun jangkêp dados sanga. Sunan Kalijaga mratelakakên, yèn sampun angsal dhèdhèkan namung kantun ngêntosi wancinipun kemawon. Anggènipun mratelakakên makatên wau jalaran Sunan Kalijaga sampun priksa, yèn Kyai Agêng Pandhanarang punika ing têmbe badhe dados tiyang mukmin, sagêd dados wali panutup anggêntosi Sèh Siti Jênar, namung dèrèng kabuka kemawon, taksih kalimput dhatêng kadonyan. Mila saking karsanipun Sunan Kali, Kyai Agêng Pandhanarang badhe kacobi dipun sukani prêlambang supados kagigah manahipun, puruna mrêtobat lan ngrasuka agami Islam. Bibar kêmpalan, Sunan Kalijaga lajêng mendha-mendha tiyang alit, ngrêmbat kambêngan kasade dhatêng Ki Agêng Pandhanarang. Dipun tawèni kambêngan Kyai Agêng Pandhanarang ugi purun numbas, nanging namung mirah-mirahan, inggih punika suku tèng (46 sèn). Kambêngan dipun sukakakên. Sarêng tiyang sade kambêngan kesah, sarta kambêngan kadhudhah, Kyai Agêng Pandhanarang kagèt lan gumun sangêt, jalaran sumêrêp ing salêbêting kambêngan wontên kandêlanipun jêne. Kandêlan inggih lajêng kapêndhêt. Babarpisan botên ngrêtos yèn wontênipun kandêlan ing kambêngan punika pancèn kasêngaja minangka pasêmon. Pikajêngipun pasêmon makatên: mbok inggih ingkang pitados (saking
andêl) kemawon dhatêng kula.
Sawatawis dintên malih Kyai Agêng Pandhanarang nyuruhi bupati pasisir lèr, dipun pamèri griyanipun ingkang mêntas dados sarta kapurih madosi punapa cacadipun. Nalika samantên, Sunan Kalijaga ugi mrêlokakên rawuh, nanging rawuhipun namur kula. Dumugi ing pasamuan, Kyai Agêng Pandhanarang pandung, kinintên bangsanipun tiyang alit kemawon ingkang dhatêng saking kajêngipun piyambak badhe narambul tumut nêdha eca, mila inggih botên dipun panggihi utawi dipun acarani lênggah kados tamu sanèsipun. Sunan Kali tumuntên mêdal saking pandhapi sarta lajêng nyipta agêm-agêman ingkang sarwa endah. Bibar mêngangge lajêng mlêbêt malih ing pandhapi. Tiyangipun Kyai Agêng Pandhanarang sumêrêp tamu mangagêm sarwa sae, enggal lapur dhatêng bêndaranipun. Kyai Agêng Pandhanarang, gita-gita mêthukakên, tamu kaaturan mlêbêt sarta lajêng sinubya-subya. Wontên ing pasamuan ingkang dados rêmbag inggih bab kawontênaning griya kabupatèn, dipun padosi punapa cacadipun. Sunan Kalijaga ugi urun pangandika, mratelakakên bilih yêyasan enggal wau sae, namung kemawon saening yêyasan wau dados jalaranipun tindak ingkang kirang prayogi (nyêmoni Kyai Agêng Pandhanarang anggènipun botên purun manggihi tamu ingkang namur kula mangangge sarwa awon). nanging Kyai Agêng Pandhanarang botên ngrêtos dhatêng suraosing têtêmbungan wau. Sunan Kalijaga lajêng ngandika malih, mêca yèn Kyai Agêng Pandhanarang botên badhe langgêng manggèn wontên ing yêyasan ingkang sarwa brêgas wau. Sasampunipun makatên Sunan Kalijaga ngrucat agêm-agêmanipun ingkang sarwa endah, ngagêm agêm-agêman awon malih, nuntên mêdal kesah saking pasamuan ngriku. Kyai Agêng Pandhanarang mêksa dèrèng sagêd njajagi suraosing pasêmon-pasêmon wau. Sunan Kalijaga cuwa ing galih, ewasamantên inggih botên kêmba anggènipun badhe ngèngêtakên dhatêng Kyai Agêng Pandhanarang. Sanès dintên Sunan Kalijaga tindak namur kula malih, ngagêm-agêm kadosdene tiyang pêpriman, njujug ing kabupatèn. Kala samantên kalêrêsan Kyai Agêng Pandhanarang sawêg ngetang arta wontên ing pandhapi, linggihipun majêng ngalèr. Sang namur lampah nyêlak saking lèr. Dipun uncali benggolan satunggal. Kyai Agêng Pandhanarang lajêng mingêr, linggih majêng mangetan. Ingkang mendha mendha apêpriman malih, dhatêng saking wetan. Dipun sukani kalih sèn. Bibar nyukani, kyai mingêr majêng ngidul, nanging ugi sumêrêp malih dhatêng ingkang pêpriman. Dipun uncali kalihtêngah sèn. Lênggahipun kyai mingêr majêng mangilèn. Sarêng majêng mangilèn mêksa taksih dipun êmisi, lajêng namung nguncali sasèn kalihan ngêdalakên têtêmbungan ingkang nandhakakên muringing manahipun. Ingkang mendha-mendha mangsuli. mratelakakên yèn anggènipun pêpriman punika botên nêdha kadonyan, jalaran dhatêng kadonyan babarpisan botên bêtah. Dene bêtahipun inggih punika suwantêning bêdhug ing Sêmarang. Kyai Agêng Pandhanarang mangsuli bêngis, mratelakakên botên badhe nuruti panêdha ingkang kados makatên wau. Ingkang mendha-mendha lampah gêntos mangsuli: "Sampun makatên kyai. Wontên ing donya kyai botên badhe lami. Ing têmbe mêsthi mantuk dhatêng jaman kalanggêngan. Manawi sangêt-sangêt nêngênakên dhatêng kadonyan, kirang prayogi, nama mangeran dhatêng kadonyan; kadonyanipun dados brahala. Wusana donya-brana wau badhe nêbihakên karahayon lan kasuwargan. Manawi kula babarpisan botên kêpengin sugih, botên pêpengin gadhah rajabrana kathah. Awit bandha kathah punika kajawi ngapintêni lan mêtêngi panggayuh ingkang utami, benjingipun inggih botên badhe tumut dhatêng suwarga. Dados prasasat botên wontên paedahipun. Utawi malih sanadyan kabêkta dhatêng suwarga inggih botên wontên prêlunipun. Amargi ing suwarga botên kirang barang ingkang endah-endah, samukawis ingkang kacipta wontên. Bêbasan tiyang macul sagêclokan sagêd pikantuk jêne saprongkal". Kyai Agêng Pandhanarang mèncêp, wicantên: "Omongmu anggêdêbus, kaya wis wêruh-wêruha ing suwarga. Endi ana wong macul bisa olèh mas prongkolan". Sunan Kalijaga sumambung: "Yèn kyai pancèn rêmên dhatêng kadonyan, sakêdhap kemawon kula sagêd ngawontênakên". Ing ngriku Sunan Kalijaga lajêng nyandhak pacul, kapaculakên ing siti tigang gaclokan, angsal-angsalipun kauncalakên dhatêng pandhapi dhawah ing sangajêngipun Kyai Agêng Pandhanarang. Kyai Agêng Pandhanarang lêngêr-lêngêr, mlongo saking sangêting gumunipun, jalaran ingkang kauncalakên ing pandhapi ngangge pacul wau sanès siti, nanging jêne tigang prongkol. Sakala ngriku lajêng ngrêtos yèn ingkang rupinipun kados tiyang pêpriman punika sajatosipun bangsa linangkung, lan ngrêtos kajêngipun anggènipun wongsal-wangsul dipun cobi sarta dipun pralambangi. Kajawi punika Kyai Agêng Pandhanarang ugi lajêng katarik manahipun badhe nggêguru. Sunan Kalijaga priksa sêmunipun Kyai Agêng Pandhanarang, bingah panggalihipun. Jêne tigang prongkol kawangsulakên ing siti, wangsul dados siti malih. Dene Kyai Agêng Pandhanarang lajêng mêndhak-mêndhak, ngacarani lênggah. Sarêng sampun satata lênggah, Kyai Agêng Pandhanarang matur: "Kyai, sapunika kula sawêg rumaos yèn agêng sangêt kalêpatan kula dhatêng panjênêngan, jalaran saklangkung anggèn kula ngina lan ngrèmèhakên dhatêng panjênêngan. Ingkang makatên wau botên sanès kajawi  jalaran saking anggèn kula kalimput dhatêng bandha, ngantos botên ngrêtos dhatêng panyobi lan pralambang panjênêngan. Mila panyuwun kula panjênêngan karsaa paring pangaksama. Samangke kula pasrah jiwaraga, badhe ndhèrèk sakarsa panjênêngan, sanadyan manggih sakit agêngipun ngantos dumugi ing pêjah, inggih badhe kula têmah. Namung kemawon kaparênga kula nyuwun dipun wêjang sapunika ugi, mumpung taksih wilujêng. Manawi ngêntosi benjing-benjing kuwatos manawi kasêlak pêjah". Sunan Kalijaga mirêng atur makatên wau, mèsêm lajêng ngandika: "Yèn kowe têmên-têmên arêp nggêguru marang aku, ya bakal dakturuti. Mung bae aku njaluk pratandhane kasêtyanmu dhisik. Mungguh sing dadi panjalukku mau ana patang prakara. Kang sapisan wiwit dina iki kowe kudu ngibadah, sarta manèh kudu ngêdêgake iman, nganakake bêdhug lan langgar-langgar apadene ngingu santri kanggo ngeslamake wong Sêmarang. Kaping pindhone kowe kudu jakat samurwate. Awit iku wis dadi wajibe umat Islam. Kaping têlune wajibe wong arêp nggêguru iku, kudu ninggal omahe, nuntumake badhiyan ing omahe gurune. Mula yèn anggonmu arêp nggêguru mantêp têmênan, kowe kudu nusul marang papan padununganku ing Jabalkat". Kyai Agêng Pandhanarang matur: "Jabalkat punika ing pundi dunungipun lan panjênêngan punika sintên?". Sunan Kali mangsuli: "Jabalkat iku prênahe ing tanah Têmbayat. Dene yèn kowe arêp wêruh jênêngku, aku iki Sèh Malaya. Wis karia slamêt. Poma èstokna wêkasku". Bibar ngandika makatên Sunan Kalijaga tindak, sakêdhap sampun ical botên katingal. Kyai Agêng Pandhanarang kantun amlênggong lan gêgêtun ing manah, botên ngintên yèn kadhatêngan wali agêng. Saking adrênging manah, enggal-enggal badhe nusul dhatêng Jabalkat ingkang kapratelakakên wontên ing tanah Têmbayat. Nanging ing sadèrèngipun kangge tandhaning sêtya, inggih badhe nglêksanani sadaya piwêlingipun calon gurunipun. III. WONTÊN ING MARGI Kyai Agêng Pandhanarang lajêng lumêbêt ing griya prêlu rêmbagan kalihan krabatipun. Semahipun sakawan, sadaya sugih-sugih lan anaking tumênggung. Anak putunipun ugi dipun klêmpakakên. Punika sami dipun cariyosi anggènipun badhe maguru anggêgulang ngèlmu. Sêdyanipun badhe kesah piyambak. Semahipun sakawan pisan kapurih kantun, momong anak-putu. Dene wontêning rajabrana tuwin barang sanès-sanèsipun dipun bage-bagea waradin dhatêng anak semah tuwin putu, lan ingkang sabagean kajakatna para miskin tuwin santri ingkang botên gadhah minangka pamituhunipun dhatêng piwêlingipun calon guru. Sasampunipun punika lajêng mranata tuwin pasrah dhatêng para sêpuh utawi tiyang ingkang pinitados kapurih ngrêksa tata têntrêm lan karaharjaning nagari. Sadaya waradin dipun wêlingi piyambak-piyambak sarta dipun pamiti. Ingkang sami dipun pamiti sami anggendholi, nanging wusananipun sadaya inggih namung jumurung. lajêng sami andum wilujêng. Namung semahipun Kyai Agêng Pandhanarang ingkang sêpuh, inggih punika Nyai Agêng Kaliwungu, ingkang nggubêl, botên purun kantun, mêksa badhe tumut lampahipun ingkang jalêr, jalaran ngantêpi anggènipun sampun nunggil kajêng kalihan guru lakinipun. Dipun arih-arih supados kantun, mêksa botên kenging, malah lajêng prasêtya dhatêng Kyai Agêng Pandhanarang,
têmbungipun: "Kyai, parêng botên parêng kula ndhèrèk. Sanadyan ajur luluh, ing donya dumugining dêlahan, sêdya kula namung sagêda nunggil kalihan kyai. Dumugi suwarga utawi naraka kula sampun ngantos pisah kalihan kyai, lêstantuna anggèn kula ngladosi kyai". Kyai agêng dipun prasêtyani makatên wau kakênan manahipun, lajêng
mangsuli" Iya ta, nyai, yèn têmên-têmên   anggonmu arêp ngêtutake
lakuku, ya dak lilani, lêstaria dadi kanthiku. Mung bae wêkasku, yèn kowe arêp mèlu, poma aja anggawa rajabrana, awit iku wis dadi wêwêlinging guru. Kadonyan iku yèn ditêngênake ambêbayani, dadi brahala amêtêngi dalan sing nuju mênyang karahayon lan kasuwargan. Lan manèh kowe kudu salin anggon-anggon, nganggoa sandhangan sarwa putih". Nyai agêng nyagahi lajêng santun pangangge, miturut pakènipun ingkang jalêr. Dene kyai agêng piyambak ugi mangangge sarwa pêthak kalung kêskul lan têkênan êcis. Sarêng sampun mirantos, ingkang badhe kesah pamitan malih dhatêng ingkang badhe katilar. Kajawi punika kyai agêng botên kasupèn wêling malih kathah-kathah, supados ingkang sami kantun rukuna anggènipun sami sadhèrèkan tuwin gêsang sêsarêngan. Sacêkapipun anggènipun pamitan, kyai agêng lan nyai agêng lajêng mangkat. Kyai agêng lampahipun wontên ing ngajêng, nyai agêng ngêtutakên wontên ing wingking kalihan anggendhong anak, inggih punika anak ingkang pawingkingipun kasêbut Pangeran Jiwa. Kajawi anggendhong anak, nyai agêng ugi têkênan wuluh gadhing, ingkang dipun isèni sêsotya lan dinar ngantos kêbak. Saking kajêngipun kangge anjagi kawilujêngan sadangunipun andon lampah, awit tiyang kêkesahan punika kathah-kabêtahanipun. Pambêktanipun dipun atos-atos sampun ngantos kasumêrêpan ing sanès, mênapa malih ingkang jalêr. Nanging sadaya wau Kyai Agêng Pandhanarang sampun mangrêtos. Namung mèndêl kemawon, ethok-ethok botên sumêrêp. Kacariyos kyai agêng lan nyai agêng sampun têbih lampahipun, sampun mêngkêrakên laladan Sêmarang, lajêng ngancik wana trataban têbih padhusunan. Ing ngriku kyai agêng ingkang lumampah ing ngajêng kapêthuk tiyang kalih, bangsaning begal ingkang ngadhang wontên ing margi. Begal ingkang satunggal ngêndhêg lampahipun kyai agêng kalihan
wicantên: E, paman, mandhêg dhisik, aku njaluk olèh-olèhmu". Kyai agêng kèndêl mangsuli: "Aku dhewe ora anggawa apa-apa sing pangaji. Dene yèn kowe padha butuh bandha, kae lo, ing buri, bojoku anggawa têkên wuluh gadhing isi mas intên. Iku rêbutên, isine cukup kok ênggo sênêng-sênêng salawasmu urip. Nanging ya mung ngrêbuta têkêne bae, bojoku lan anakku aja kok kapak-kapakake. Bibar mangsuli makatên, kyai agêng nglajêngakên lampahipun. Begal kalih kantun wontên ing têngah margi, ngêntosi nyai agêng. Sarêng nyai agêng dumugi ing panggenaning begal, begal agahan ngrêbat têkên wuluh gadhing. Têkên tumuntên kasigar dados kalih. Saèstu pinanggih isi sesotya tuwin dinar kathah. Mila begal kalih inggih sami cingkrak-cingkrak saking bingahipun. Nanging lajêng sami ambatos makatên: "Lagi têkêne bae isine samene kèhe, apa manèh sandhangane utawa kandhutane, mêsthine luwih saka iku". Begal kalih lajêng sami nyêlaki nyai agêng, badhe dipun blèjèdi. Nanging sawêg badhe nyêpêng, dumadakan saking karsaning ingkang Maha Kuwaos lajêng kraos lêmês, ical kêkiyatanipun, dhawah nglêmpuruk wontên ing siti. Nalika badhe dipun cêpêng begal wau nyai agêng kagêt lan kumêsar manahipun, lajêng sambat-sambat dhatêng ingkang jalêr: " Nedho tulung Kyai, wonten tiyang salah, tiga !" Inggih punika ingkang dados mulabukanipun panggenan ngriku kasêbut nama Salatiga, mêndhêt saking têtêmbungan "salah" lan "tiga"

[2] Sarêng kalihan sêsambatipun nyai agêng wau, anak ingkang wontên ing gendhongan nangis. Sambat tuwin tangis wau kapirêng dening kyai agêng. Kyai agêng nolèh lajêng wicantên: “ Mau mula aku wis kandha, kowe mung dak lilani ngrêbut têkêne bae, ora kêna ganggu gawe wonge. Lah saiki, ya banjur mêngkono iku jalukanmu, rupamu banjur kaya wêdhus ". Sakala ngriku saking mandining ujaripun kyai agêng, begal ingkang satunggal lajêng malih rupi, rainipun dados rai menda. Dene begal ingkang satunggalipun klèsèdan botên sagêd mênyat, dipun lokakên kyai agêng kados sawêr, wusana rainipun ugi malih dados rai sawêr. Begal kalih lajêng sami nêdha ngapuntên lan pasrah pêjah gêsang dhatêng kyai agêng. Dene kyai agêng piyambak panggalihipun ugi gêgêtun, dene ujaripun têka katêmahan. Begal kalih lajêng kapurih narimah sarta kapurih pitados dhatêng Pangeran, mbokmanawi ing têmbe sagêd pikantuk pangapuntên. Salajêngipun lajêng sami dados sakabatipun kyai agêng, kanamakakên Sèh Domba lan Sèh Kèwèl. Kyai agêng nglajêngakên lampahipun kalihan ingkang èstri, Sèh Domba lan Sèh Kèwèl botên kantun. Sarêng dumugi panggenan ingkang sapunika nama Bayalali, nyai agêng kantun malih. Mangka lampahipun rêkaos. Kabêkta manah jinja, ngantos kawêdal pasambatipun makatên: "Kyai, baya wis lali, têka ninggal bae". Inggih punika mulabukanipun panggenan ngriku lajêng kawastanan Bayalali. IV. WONTÊN ING WÊDHI Dangu-dangu lampahipun kyai agêng dumugi ing dhusun ingkang dumunung ing satêngah-têngahing margi saantawisipun Klathèn lan Têmbayat. Wontên ing ngriku kèndêl. Kyai agêng lajêng ngawula dhatêng tiyang èstri ingkang padamêlanipun sade sêkul, nama mbok Tasik. Dene Sèh Domba lan Sèh Kèwèl kapurih nglajêngakên lampah mrêtapa wontên ing rêdi. Sadangunipun ngawula mbok Tasik wau kyai agêng ngrangkêp dados mrêbot masjid dhusun ngriku lan santun nama Gus Slamêt. Kacariyos mbok Tasik sarêng dipun tumuti Gus Slamêt, anggènipun pados panggêsangan gangsar. Sadeanipun kathah pêpajênganipun lan inggih kathah bathinipun, beda kalihan nalika dèrèng dipun tumuti Gus Slamêt. Jalaran saking anggènipun ngladosi mbok Tasik ngrangkêp dados mrêbot ing masjid wau, Gus Slamêt kathah padamêlanipun. Kala-kala sok kèthèr botên sagêt nyêkapi sadayanipun. Nuju satunggaling dintên Gus Slamêt wontên ing griyanipun mbok Tasik dipun pasrahi padamêlan langkung tinimbang adat sabên. Wusana padamêlan ing mêsjid kèthèr. Nalika tiyang-tiyang dhatêng badhe sêmbahyang, padasanipun taksih kothong, jalaran dèrèng dipun isèni dening mrêbotipun. Wasana lajêng sami muring-muring. Ingkang dipun uring-uring botên sanès inggih Gus Slamêt. Gus Slamêt enggal-enggal tumandang. Saking kasêsanipun anggènipun ngangsu pancènipun ngangge timba klèntu ngangge kranjang. Nanging saking karsanipun ingkang Maha Kuwaos, kranjang wau dipun isèni toya botên kècèr. Mila sakêdhap kemawon padasanipun kêbak mêncêp-mêncêp. Wiwit dintên punika Gus Slamêt dipun ajrihi dhatêng para punggawa masjid. Sanès dintên malih mbok Tasik badhe adang sampun kêtêlasan uwos, mangka kala samantên sampun jam sakawan enjing. Gus Slamêt lajêng dipun kèn adhang-adhang wontên ing margi, mbokmanawi wontên tiyang sade wos langkung. Botên watawis dangu saèstu wontên tiyang jalêr langkung nyunggi bagor isi wos badhe kasade dhatêng pêkên. Gus Slamêt takèn: "Kang, sampeyan mbêkta napa niku? Nèk mbêkta wos mang kèndêl, kula tumbase. Ingkang nyunggi wos botên purun kèndêl, kirang têrang ajrih manawi dipun damêl awon dhatêng ingkang ngêndhêgakên, kirang têrang pancèn gadhah niyat wosipun badhe kasade wontên ing pêkên kemawon supados langkung kathah pêpajênganipun. Wusana lajêng mangsuli makatên: "Kula botên mbêkta wos, sing kula sunggi niki wêdhi". Anggènipun mangsuli makatên wau kalihan anglajêngakên lampah. Sarêng dumugi ing pêkên, wos kasuntak, pijambakipun anjumbul, jalaran bagoripun botên isi wos, nanging isi wêdhi. Wiwit punika dhusun ngriku lajêng kanamakakên Wêdhi, lêstantun dumugi sapriki. Wontên kaelokan malih, satunggaling dintên mbok Tasik badhe adang, nanging katêlasan kajêng. Gus Slamêt dipun srêngêni, têmbungipun: "E lah sêmbrana kowe ki, wong wêruh ora ana kayu kok lênguk-lênguk bae. Apa mêngko yèn adang sing diênggo kayu cokormu!". Dipun srêngêni makatên wau Gus Slamêt mèndêl kemawon, kapêksa narimah, mupus jalaran ngrumaosi anggènipun sawêg cinobi, kêdah sagêd mêkak manahipun piyambak. Sarêng mbok Tasik mêngkêr, saking lêga rilaning manahipun, Gus Slamêt sumlonong, tanganipun kalih pisan dipun lêbêtakên dhatêng pawon, wusana kumrètèg murub kados kajêng dang. Mbok Tasik mirêng suwantêning latu, lajêng nginjên saking sênthongipun, wusana lajêng sumêrêp yèn ingkang murub wontên ing pawon punika sanès kajêng dang, nanging tanganipun Gus Slamêt. Sakala ngriku lajêng kados dipun osikakên, ngrêtos yèn Gus Slamêt punika sanès tiyang sêmbarangan. Wiwit punika mbok Tasik lajêng santun panganggêp, ajrih dhatêng Gus Slamêt. Kajawi punika ugi kêduwung, anggènipun sok srêngên utawi nyawiyah dhatêng Gus Slamêt. Lajêng nêdha pangapuntên. Botên watawis dangu jalaran saking tundha-tumundhaning cêcriyosan, tiyang sakubênging dhusun Wêdhi, sami ngrêtos manawi Gus Slamêt sok mêdal kramatipun. Awit saking punika Gus Slamêt lajêng botên kraos manggèn wontên ing Wêdhi. Kajawi punika kala samantên inggih sampun andungkap wancinipun kyai agêng badhe tampi wahyu widayat. Mila lajêng kesah saking ngriku, anak semahipun dipun jak. Makatên ugi sakabatipun Sèh Domba lan Sèh Kèwèl ingkang sami mrêtapa inggih sami dipun ampiri. Dene sêdyaning lampah badhe dhatêng Jabalkat. V. WONTÊN ING TÊMBAYAT NGANTOS JUMÊNÊNG WALI Kacariyos sarêng lampahipun dumugi ing rêdi Kucur, anakipun kyai agêng nangis, jalaran sampun dangu botên ngombe. Anggènipun nangis kalihan tanganipun nggrauti siti. Kyai agêng alok: "Dene kowe têka nangis, kuwi tanganmu rak ngêruki banyu". Saking kramatipun kyai agêng, sakala ngriku lajêng wontên toya mudal saking siti, sarta salajêngipun panggenan ngriku wontên tukipun. Saking rêdi Kucur lampahipun Kyai Agêng Pandhanarang, lajêng dumugi ing Jabalkat.

[3] Ing ngriku kyai agêng lajêng yasa griya lan masjid sacêkapipun sarta botên dangu papan wau lajêng kadhatêngan tiyang saking pundi-pundi panggenan, wontên ingkang cêlak wontên ingkang têbih, saking Sêmarang lan saking tanah wetan ingkang waunipun dados rerehanipun kraton Majapait. Dene dhatêngipun tiyang-tiyang wau botên sanès namung badhe maguru dhatêng kyai agêng. Mila muridipun kyai agêng saya dangu inggih saya kathah. Kajawi punika kyai agêng ugi kalampahan sagêd ngislamakên para ajar ing sakiwa-têngênipun laladan ngriku ingkang taksih sami angluhurakên agami lami. Wontên ingkang cariyos, bilih kyai agêng anggènipun sagêd ngeslamakên para ajar ing ngriku punika jalaran saking anggènipun emah-emah malih pikantuk pawèstri saking tanah ngriku ingkang nama Nyi Endhang. Nyi Endhang punika waunipun tansah dados rêbatanipun para ajar. Saking botên bêtahipun lajêng pados pangungsèn dhatêng papan padununganipun kyai agêng, wusana lajêng kapêndhêt semah dhatêng kyai agêng piyambak. Salajêngipun Nyi Endhang wau misuwur nama Nyai Agêng Krakitan. sarêng sampun mêndhêt semah Nyai Agêng Krakitan, kyai agêng lajêng sagêd ngeslamakên para ajar, kadosta ajar Menak Bawa, Bandar Alim, Ki Malanggati lan sanès-sanèsipun. Nanging nalika punika ugi taksih wontên ajar ingkang wangkot, botên purun ngrasuk agami enggal. Tekadipun, botên purun ngrasuk agami enggal manawi dèrèng sumêrêp buktinipun bilih agami enggal wau langkung unggul tinimbang agami lami Ajar wau wontên ingkang nama Prawirasakti, dêdunung wontên ing rêdi Gambar (dumunung wontên ing sakidul wêtanipun Têmbayat). Kyai Agêng Pandhanarang wongsal-wangsul kengkenan muridipun dhatêng rêdi Gambar prêlu ngeslamakên Ajar Prawirasakti. Nanging kengkenanipun botên wontên ingkang sagêd angsal damêl. Malah satunggal kemawon botên wontên ingkang sagêd nginggahi rêdi Gambar. Awit sabên badhe minggah, lajêng wontên lesus dhatêng dadakan nêmpuh dhatêng kengkenanipun kyai agêng, wusana kengkenan wau kontal dumugi ing ngajêngipun kyai agêng malih. Wondene lesus wau miturut gotèk inggih saking pandamêlipun Ajar Prawirasakti. Kyai agêng bêntèr manahipun, Ajar Prawirasakti badhe dipun dhatêngi piyambak. Kalampahan kyai agêng mangkat dhatêng rêdi Gambar. Nalika badhe minggah Ajar Prawirasakti lajêng angglundhungakên sela agêng-agêng saking nginggil. Nanging sela wau sabên badhe ngglundhungi kyai agêng, katampèn ngangge gamparanipun lajêng sami kèndêl. Makatên wau botên kèndêl-kèndêl ngantos dumugi nginggil. Wusana kèndêling sela kados dipun tata, saking ngandhap manginggil. Ngantos sapriki sela wau taksih wontên kanamakakên sela andha. Sarêng sampun dumugi nginggil, Kyai Agêng Pandhanarang lajêng kapanggih kalihan Ajar Prawirasakti. Ajar Prawirasakti kapurih ngrasuk agami Islam, wangsulanipun songol ngungkak krama makatên: "Gêlêm aku ngidhêp marang agama anyar, yèn kowe bisa ngalahake kabisanku". Kyai agêng sumambung: "Lah, kabisanmu apa?" "Dêlêngên iki, aku duwe dara. Yèn iki dak culake mangka kowe bisa nututi, aku gêlêm nungkul marang kowe". "Iya mara culna daramu, mêngko dak tututane." Ajar Prawirasakti lajêng ngêculakên daranipun, ingkang lajêng mabur muluk, botên katingal. Kyai agêng sumêrêp kêplasing ibêripun dara babarpisan botên ngêdhap utawi gumun. Enggal nyandhak gamparanipun kauncalakên kapurih nututi pêksi dara. Botên dangu pêksi dara lan gamparan mandhap, pêksinipun sampun pêjah. Ajar Prawirasakti gumun, nanging dèrèng purun nungkul. Lajêng nantang malih: Saiki gênti kêthuku iki, dak uncalne mandhuwur, tututana". Kyai agêng nyagahi. Kêthu kauncalakên, inggih lajêng botên katingal. Nuntên kyai agêng nyandhak gamparan satunggalipun, kauncalakên kapurih nututi kêthu. Sakêdhap kêthu lan gamparan dhawah mangandhap, kêthu katumpangan gamparan. Ajar Prawirasakti mêksa dèrèng purun nungkul. Taksih nantang malih,
têmbungipun: "Aku mêksa durung gêlêm nungkul. Coba saiki aku dak umpêtan, golèkana". Kyai agêng nyagahi malih. Sakala ngriku Ajar Prawirasakti lajêng ngical, ndêlik wontên ing sangandhaping sela agêng. Saking pangintênipun, kyai agêng mêsthi botên badhe sagêd madosi. Nanging mak grewal, sela ingkang kangge aling-aling kabrengkal, wusana Ajar Prawirasakti lajêng katingal malih. Panggenan ingkang kangge umpêtan wau lajêng growong, dumugi sapriki taksih katingal kados guwa. Ajar Prawirasakti taksih nantang malih, têmbungipun: "Mara saiki gênti kowe umpêtana, aku sing nggolèki". Kyai agêng mangsuli: "Iya, dak turuti sakarêpmu. Wis ping têlu kowe kalah ngadu kapintêran. Mêksa durung trima kalah. Ganêpe ping pat yèn kowe ora gêlêm nungkul, aja takon dosa, mêsthi dak sirnakake kowe. Mara saiki aku gênti dak ndhêlik, golèkana". Sakala ngriku kyai agêng lajêng angical, botên kantênan dhatêng pundi purugipun. Ajar Prawirasakti madosi, dangu botên kêpanggih. Wusana lajêng trimah kawon, nungkul, sagah ngrasuk agami Islam. Kyai agêng lajêng mêncungul kalihan mêlèhakên: "Ora sêmbada umukmu. Dene aku ndhêlik cêdhak-cêdhakan bae ora bisa anggolèki. Kowe ora wêruh lan ora krasa yèn aku umpêtan ana ing antarane alismu". Salajêngipun rêmbagipun Kyai Agêng Pandhanarang lan Ajar Prawirasakti botên kacariyosakên, cêkakipun Ajar Prawirasakti rumaos botên sagêd nyamèni utawi ngawonakên Kyai Agêng Pandhanarang, lajêng nungkul mlêbêt agami Islam. Bibar nêlukakên Ajar Prawirasakti, Kyai Agêng Pandhanarang lajêng gêntos nêlukakên ajar sanès-sanèsipun ingkang ugi mbangkang botên badhe purun ngidhêp agami Islam, inggih punika ajar ingkang nama Kyai Agêng Majasta, dêdunung wontên ing dhusun Majasta ing salèr wetanipun dhusun Têmbayat. Sadèrèngipun kaislamakên Kyai Agêng Majasta misuwur brangasanipun tuwin kêndêl. Samangsa wontên ingkang purun ngrisak têgil utawi sabinipun, kewan utawi manungsa mêsthi dipun pêjahi. Anuju satunggiling dintên Kyai Agêng Majasta wau sawêg ngaso mêntas ndandosi galênganipun, dipun inggilakên lan dipun damêl waradin. Dumadakan lajêng sumêrêp wontên tiyang langkung ing galêngan ingkang mêntas dipun dandosi wau. Mênggah ingkang langkung ing galêngan wau botên sanès kajawi Kyai Agêng Pandhanarang, badhe dhatêng ing dhusun Majasta prêlu badhe ngislamakên Kyai Agêng Majasta. Sumêrêp galênganipun dipun langkungi tiyang, Kyai Agêng Majasta sakala muntab nêpsunipun. Lajêng nyêlaki kalihan ambêkta tumbak. Sarêng tumbakipun badhe dipun tamakakên, Kyai Agêng Pandhanarang mênggak, wicantên sarèh: "Mêngko ta dhisik,

[4] sing sabar. Aja grusa-grusu arêp gawe tiwase uwong. Apa salahku dene arêp kok tumbak?" Kyai Agêng Majasta kèndêl kalihan mangsuli: "Andadak nganggo takon salahe barang! Apa kowe ora rumangsa jag-jagan ngidak-idak galênganku sing mêntas dak dandani iki!". Kyai Agêng Pandhanarang gêntos mangsuli: "O, mêngkono ta. Ning coba dêlokên dhisik sing cêtha. Yèn nyata galênganmu ana sing rusak, jalaran saka dak liwati, aku gêlêm kok tumbak." Kyai Agêng Majasta lajêng ningali galêngan ingkang mêntas dipun langkungi Kyai Agêng Pandhanarang. Sangêt gumunipun dene galêngan wau taksih wêtah, botên wontên ingkang risak sakêdhik-kêdhika, dalasan tilas tapaking suku kemawon ugi botên katingal. Wusana Kyai Agêng Majasta lajêng ajrih dhatêng Kyai Agêng Pandhanarang sarta purun nungkul dipun Islamakên. Ing salajêngipun cacahing tiyang ingkang sami dhatêng ing Jabalkat nêdha dipun Islamakên mindhak kathah. Kyai Agêng Pandhanarang sampun sampurna anggènipun ngudi dhatêng agami wau. Nglêrêsi dintên Jumuwah Kliwon tanggal kaping 27 wulan Ruwah, Kyai Agêng Pandhanarang pikantuk nugrahaning Pangeran nampi wahyu widayat, madêg dados wali. Wiwit kala punika Kyai Agêng Pandhanarang lajêng kasêbut nama Sunan Bayat. VI. SASAMPUNIPUN JUMÊNÊNG WALI NGANTOS SEDA Wancinipun surya sampun badhe sêrap. Sunan Bayat mlêbêt masjid lajêng adan ngajêngakên salat magrib. Kacariyos nalika adan wau suwaranipun kapirêng Sunan Dêmak. Sunan Dêmak alok makatên: "Wong lagi bae anggone dadi wali, têka wis umuk Sunan Bayat iki. Anggone yasa masjid mêthangkrong ana ing gunung anggone adan disêrokake. Lampune mêncorong amblêrêngi. Iku kabèh kudu enggal dimarèni." Sunan Bayat mirêng dipun lokakên makatên wau, ngrumaosi kalêpatanipun. Lajêng prentah dhatêng sakabatipun sakawan ingkang pinitados, inggih punika: Kyai Gagakdhoka, Kyai Dakawana,

[5] Sèh Domba lan Kyai Kèwèl, kapurih ngêdhakakên masjid. Sakabat sakawan ngèstokakên, masjid kaêdhakakên sarana kasèrèd, sakêdhap dumugi ngandhap, botên wontên ingkang risak utawi mèncèng. Samangke masjid wau taksih ngadêg wontên ing dhusun Têmbayat kasêbut nama Masjid Gala. Anèhipun, masjid wau kenging kangge sêmbahyang Jumuwahan cêkap namung tiyang sakawan, mangka yèn masjid sanès-sanèsipun manawi sêmbahyang Jumuwahan sakêdhik-sakêdhikipun kêdah wontên tiyang kawandasa. Ingkang makatên punika botên sanès kajawi namung naluri lêluhur ing Têmbayat. Jamanipun Sunan Têmbayat salat Jumuwahan wontên ing Masjid Gala punika namung kalihan sakabat sakawan. Nglajêngakên cariyosipun Sunan Bayat. Gêsangipun kalihan para sakabat lan murid-muridipun wontên ing Têmbayat têntrêm, têbih saking panggenan ingkang kala samantên tansah mêmêngsahan rêbat panguwaos lan sanès-sanèsipun. Kacariyos ing satunggiling dintên Sunan Kalijaga mrêlokakên tuwi dhatêng Têmbayat. Kalêrêsan kala samantên Sèh Domba lan Kyai Kèwèl sawêg sami nyambut damêl, ngisèni padasan, nanging sami kasupèn nyumpêli cucuking padasan, mila toyanipun têlas-têlas kemawon, mangka pamêndhêtipun toya radi têbih, botên wontên ing sacêlakipun padasan. Ingkang makatên wau Sunan Kalijaga uninga. Ingkang sami ngangsu lajêng dipun aruh-aruhi, kadhawuhan nyumpêli padasan. Sarêng sampun dipun sumpêli, padasanipun sakêdhap kemawon inggih lajêng kêbak, malah ngantos lubèr. Jalaran saking punika ngantos dumugi sapriki manawi nuju mangsa katiga, dangu botên jawah, padasan wau dipun isèni ngantos lubèr. Saking kapitadosanipun tiyang-tiyang ing ngriku, manawi padasan wau sampun dipun isèni lubèr, têmtu lajêng enggal wontên jawah. Kajawi saking punika toya saking padasan wau ugi sok dipun ombe tiyang, dipun alap bêrkahipun, samantên punika manawi anggènipun ngombe botên ngangge wadhah damêlan nagari Eropah, nanging ngangge ron pisang kemawon. Nglajêngakên cariyos malih. Nalika Sunan Kalijaga martuwi Sunan Bayat wau ugi lajêng priksa rupinipun Sèh Domba lan Kyai Kèwèl, nuntên andangu dhatêng Sunan Bayat: "Sakabatmu loro iku apa pancèn wêdhus lan ula, apa manungsa?" Sunan Bayat mangsuli: "Sajatosipun inggih manungsa". Sakèndêling wangsulan wau Sèh Domba lan Kyai Kèwèl kados kinarsakakên Pangeran, sakala waluya jati, ical sipating menda lan sawêr, wangsul arupi manungsa malih. Mila tiyang kalih wau saya mantêp anggènipun sami ngawula dhatêng Sunan Bayat, lêstantun ngantos dumugi pêjahipun.

[6] Kacariyos malih salèr wetanipun rêdi Jabalkat wontên rêdi nama rêdi Malang. Punika langkung inggil tinimbang lan rêdi Jabalkat lan malih langkung wiyar, tumrap para tiyang ingkang dhatêng saking wetan badhe dhatêng rêdi Jabalkat amakèwêdi, mila saking kajêngipun Sunan Bayat, pucaking rêdi Malang wau badhe dipun papral, papralanipun badhe kaêdhakakên wontên ing pèrènging rêdi Jabalkat. Ingkang makatên wau ugi dipun lêksanani, mila sapunikanipun rêdi Malang punika langkung andhap tinimbang nalika jaman samantên. Sunan Bayat anggènipun madêg wali wontên 25 taun. Dintên Jumuwah Kliwon tanggal kaping 27 wulan Ruwah seda. Layon kasarèkakên wontên ing pucaking rêdi ingkang kacariyosakên papralanipun rêdi Malang, dumunung wontên ing pèrènging rêdi Jabalkat. Ing rêdi Malang wontên pasareyan sanès. Ingkang sumare wontên ing ngriku Pangeran Ragil, wayahipun Sunan Bayat. Para sakabat tuwin muridipun Sunan Bayat ingkang pêjah ngrumiyini wontên ingkang nama Japrusa, punika pêjahipun mrayangan. Saking botên bêtahipun ngraosakên pêjah botên sampurna, bêbasan satêngah pêjah satêngah gêsang, ngumbara dados lêlêmbat, lajêng sowan Sunan Bayat, nyuwun dipun tulungi supados pêjahipun sagêd sampurna. Sunan Bayat mangsuli bilih anggènipun pêjah mrayangan wau sampun pinasthi jalaran saking karsanipun ingkang Maha Kawasa. Nanging mêksa badhe kapitulungan supados sampun ngantos sangêt-sangêt anggènipun ngraosakên sangsaranipun, inggih punika badhe kaudi ing sasagêd-sagêdipun, supados tiyang sanès ingkang babag kawruhipun kalihan Japrusa lan malih waunipun sami sêsrawungan kalihan piyambakipun sagêda nunggil kawontênan pêjah mrayangan dados kancanipun Japrusa. Kêlampahan Japrusa pikantuk kanca inggih punika Sèh Sabukjanur, Kyai Malanggati sarta Kyai lan Nyai Gadhungmlati. Sadaya wau sami kabageyan mbaurêksa papan piyambak-piyambak inggih
punika: Sèh Sabukjanur mbaurêksa ing rêdi Jabalkat, Kyai Malanggati mbaurêksa ing papan panggenaning kuburanipun Japrusa ing rêdi Ngadan, sarta Kyai lan Nyai Gadhungmlati ing tuk Taman. VII. ASAL-USULIPUN SUNAN TÊMBAYAT Samantên cariyos lêlampahanipun Sunan Bayat, wiwit dados bupati wontên ing Semarang ngantos dumuginipun wangsul dhatêng jaman kalanggêngan. Asal-usul lan lêlampahan sadèrèngipun madêg bupati dèrèng kacariyos. Sapunika badhe kacariyosakên. nanging wontêning gotèk lan sêrat-sêrat ingkang nyariyosakên bab wau satunggal lan satunggalipun botên cocog, beda-beda suraosipun. Kangge nyêkapi dêdongengan sadaya wau badhe kacariyosakên, nanging inggih namung badhe kapêndhêt saprêlunipun kemawon. Pundi ingkang lêrês utawi pundi ingkang lêpat, punika kasumanggakakên dhatêng para maos anggènipun manggalih. Sawênèhing gotèk ing bab punika nyariyosakên makatên: Sabêdhahipun nagari Majapait jalaran tinêmpuh dening tiyang ingkang sami ngrasuk agami Islam, Sang Prabu Brawijaya ingkang wekasan jêngkar sêsidhêman, namung kadhèrèkakên abdi kêkalih ingkang awasta Sabdapalon lan Pak Mêlik alias Nayagènggong. Tindakipun mangidul. Sarêng dumugi ing dhusun Sawêr sang nata kapêthuk kalihan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga mitêrang punapa ingkang dados krêsanipun sang nata dene karaya-raya tindak têbih-têbih. Wangsulanipun sang nata badhe makahyangan nunggil kalihan para lêluhuripun, kêmpal kalihan Ratu Kidul ingkang kala samantên jêjuluk Dèwi Wilutama. Ing ngriku tilas nata lan Sunan Kalijaga lajêng sami sarasehan, ngrêmbag bab warni-warni ingkang gaib-gaib. Pungkasaning sarasehan, botên wontên ingkang kawon lan botên wontên ingkang mênang. Wasana Sabdapalon lan Nayagènggong lajêng sami nyêlani rêmbag, mratelakakên bilih rêmbag-rêmbag wau sami dene lêrêsipun, nanging sarèhning Sunan Kalijaga punika sampun nglênggahi jaman enggal, anggènipun mastani bab ingkang dados rêmbag botên sami kalihan sang tilas nata, ingkang sajatosipun pikajênganipun sami kemawon. Wusana sang tilas nata lajêng ngawon, sumarah badhe miturut punapa ingkang dados kajêngipun Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga mrayogèkakên supados sang tilas nata madêg bupati wontên ing Sêmarang sarta santun asma jêjuluk Kyai Agêng Pandhanarang. Sabdapalon nyuwun priksa punapa ingkang dados krêsanipun Sunan Kalijaga mrayogèkakên makatên wau. Wosing pitakènipun nyuwun priksa kadospundi badhe kadadosaning lêlampahanipun sang tilas nata, ing têmbe sagêd madêg nata malih punapa botên. Wangsulanipun Sunan Kalijaga namung badhe ngangkah supados sang tilas nata ing têmbe sagêda dados wali panutup, anggêntosi Sèh Siti Jênar. Sang tilas nata nglajêngakên lampah miturut pamrayoginipun Sunan Kalijaga. Kêlampahan dumugi ing Sêmarang, madêg dados bupati asma Kyai Agêng Pandhanarang. Dados miturut gotèk wau, Kyai Agêng Pandhanarang punika inggih tilas nata ing Majapait, Prabu Brawijaya ingkang wêkasan. VIII. ASAL-USULIPUN SUNAN TÊMBAYAT MITURUT SÊRAT KANDHA Nanging manawi miturut Sêrat Kandha (handschrift Djawi Bataviaasch Genootschap nomêr 7) ingkang madêg dados bupati wontên ing Sêmarang sarta kasêbut nama Ki Pandhanarang punika Radèn Made Pandhan, putra Radèn Sabrangwetan, wayah nata ing Bintara. Ing Sêrat Kandha wau kacariyosakên makatên: Radèn Made Pandhan tampi dhawuh saking Sunan Bonang mbukak siti ing Tirangampèr sarta angislamakên para ajar ing sakiwa-têngênipun tanah ngriku ingkang taksih sami mbangkang dèrèng purun ngrasuk agami enggal. Radèn Made Pandhan nyagahi. Sarêng sampun manggèn ing pulo Tirang kasuwuripun nama Ki Pandhanarang sarta dipun dhatêngi tiyang ingkang sami badhe maguru, saya dangu saya kathah. Kacariyos wontên ajar nama Citragati, dêdunung ing Sêjanila. Punika gadhah rencang èstri, taksih prawan tur sae rupinipun. Ajar Citragati kasêngsêm melik dhatêng rêncangipun wau. Nanging rencangipun botên purun nanggapi, malah lajêng kesah badhe nêdha tulung dhatêng ajar sanès. Sabên dumugi ing panggenanipun ajar, lampahipun dipun cariyosakên, makatên ugi panêdhanipun pitulungan supados dipun ayomi. Nanging ajar ingkang dipun têdhani tulung wau sami ajrih dhatêng Ajar Citragati, awit Ajar Citragati wau kaanggêp dados têtungguling para ajar. Mila wangsulanipun botên sagêd suka pangayoman. Dangu-dangu lampahipun rencang wau dumugi ing panggenanipun Ajar Pragota. (Prawan wau anggènipun mubêng-mubêng pados pangayoman kalihan mbêkta lumpang, prêlunipun mbêkta lumpang wau badhe kacariyosakên ing ngandhap). Lajêng ngandharakên prêluning lampahipun kados ingkang sampun-sampun. Ajar Pragota mangsuli: "Aja dadi atimu, prakara iku aku ora bisa awèh pitulungan, jalaran aku ora kêconggah. Coba ing Tirangampèr wetan kene ana guru agama anyar, kasêbut aran Ki Pandhanarang. Wonge isih nom, bagus rupane tur isih darahing ratu. Iku saka pangiraku mêsthi gêlêm ngayomi marang kowe. Mula bêcike kowe golèka pangungsèn marang Tirangampèr bae. Mung bae kowe iya kudu mlêbu agama anyar". Pun kênya ngèstokakên pamrayoginipun Ajar Pragota wau, lajêng nglajêngakên lampahipun mangetan, badhe nêdha pangayoman dhatêng Ki Pandhanarang. Lumpang dipun bêkta. Lumpang wau lumpang sela. Dene anggènipun dipun bêkta, kangge pratandha. Samangsa piyambakipun sampun botên kuwawi ngangkat, punika dados pratandha yèn para ajar ing parêdèn sakiwa-têngênipun ngriku badhe ngrasuk agami Islam sadaya. Sarêng lampahipun kênya wau dumugi Tirangampèr, lumpangipun kraos awrat, kaongkèk-ongkèk botên kangkat. Pun kênya ngrêtos, manawi guru agami ingkang manggèn ing Tirangampèr ngriku lan misuwur nama Ki Pandhanarang punika agêng panguwaosipun, mila èstu badhe dipun têdhani pangayoman. Kala samantên Ki Pandhanarang sawêg lênggah kinêpang dening para muridipun. Sarêng sumêrêp wontên tiyang èstri taksih nèm dhatêng, lajêng dipun takèni kanthi ngatingalakên ulat sumèh, punapa ingkang dados prêlunipun. Ingkang dipun takèni mangsuli: "Sowan kula mriki punika manawi kaparêng badhe nyuwun sih pitulungan panjênêngan". Têrus lajêng nyariyosakên lêlampahanipun. Ki Pandhanarang mangsuli: Iya ta, yèn kowe têmên-têmên arêp njaluk pangayoman marang aku, iya tak ayomi. Mung bae aku duwe panjaluk marang kowe. Kowe ngrasuka agamaku, ya iku agama Islam. Gêlêm apa ora kowe nglakoni?" Prawan rèhning sampun dipun sukani sasmita dening lumpang, mangsuli: "Kula ndèrèk". Ki Pandhanarang bingah manahipun. Prawan tumuntên dipun wucal maos sahadat ngantos apil. Sarêng sampun apil lajêng dipun prentah makatên: "Saiki kowe arêp dak pasrahi pagawean, dak kongkon ngislamake para ajar. Bisane klakon kowe kudu ngubêngi Jurangsuru lan Lêbuapi. Dene lakumu murih prayogane turuta pagunungan iki mêtu brang kulon, aja nganti ana sing kliwatan. Têkênku iki gawanên, nggonên liwat sêgara. Mudhuna saka kene bae. Ingkang tampi prentah nyagahi. Wangsulanipun, sanajan toh nyawa inggih badhe dipun lampahi. Sasampunipun pamitan, nyandhak têkên lajêng mangkat nyabrang sagantên. Sanadyan mêdal sagantên lampahipun inggih sakeca. Awit panggenan ingkang kadhawahan têkên, sadaya kemawon lajêng dados cèthèk sami sanalika. Lampahipun sakawit mangalèr, lajêng mangilèn kalihan gumun, jalaran sumêrêp yèn panggenan ingkang dipun langkungi sami asat. Jalaran saking punika manahipun saya tatag, lan mantêp anggènipun badhe nglêksanani pakènipun Ki Pandhanarang. Sarêng lampahipun nglangkungi Dêrana lajêng dipun tut wingking dening ajar ingkang dêdunung ing ngriku inggih punika Ajar Citrakokoh. Punika sumêrêp kaelokan bab malihipun sagantên dados siti dharatan sangêt gumun, wusana lajêng kêpengin sumêrêp sintên gurunipun tiyang èstri neneman wau. Salajêngipun lampahing kèngkènanipun Ki Pandhanarang nglangkungi Jurangsuru, Lêbuapi, Wotgalih, Guwasalèh, Brintik, Pragota, Tinjomaya lan Gajahmungkur, ngantos dumugi tapêl watêsipun Sêjanila. Sadaya ajar ingkang sami dêdunung ing panggenan-panggenan wau sarêng sami nyumêrêpi wontêning kaelokan kasêbut nginggil, inggih lajêng tut wingking lampahipun kèngkènan, prêlu badhe pinanggih kalihan Ki Pandhanarang. Sarêng tiyang-tiyang wau dumugi ing Sêjanila, Ajar Citragati cingak. Lajêng pitakèn punapa prêlunipun sami gumrudug mlampah sêsarêngan. Ajar Citragati nuntên dipun cariyosi wontêning kaelokan, lan dipun sanjangi punapa ingkang dados pikajênganipun ajar-ajar wau. Wusana ugi kêtarik manahipun kapengin badhe manggihi Ki Pandhanarang, malah sanjang badhe nyobi kalangkunganipun Ki Pandhanarang, manawi kawon, Ajar Citragati badhe nungkul ngrasuk agami Islam. Dangu-dangu para ajar inggih lajêng dumugi ing papan padununganipun Ki Pandhanarang ing Tirangampèr. Sadhatêngipun ing ngriku katampi kalihan sae dening Ki Pandhanarang. Ing ngriku para ajar lajêng sami pratela yèn badhe ngrasuk agami Islam. Namung Ajar Citragati ingkang taksih dèrèng purun, dèrèng pitados dhatêng kalangkunganipun Ki Pandhanarang. Mila lajêng nantang dhatêng Ki Pandhanarang, dipun jak ngabên kasagêdan. Ki Pandhanarang purun. Ajar Citragati nuntên nyandhak kudhinipun kalihan wicantên: "Iki lo kudhi, dak uncalake mêndhuwur, tututana. Yèn bisa nututi aku gêlêm nungkul". Ki Pandhanarang mangsuli: "Yèn Allah pancèn ngarsakakê, mêsthi bakal kêcêkêl kudhimu. Coba uncalna!" Kudhi kauncalakên manginggil dening Ajar Citragati, anggêblas kados pêksi. Ki Pandhanarang nuntên nyandhak aritipun, inggih kauncalakên manginggil. Lampahing arit nututi kudhi lajêng campuh pêpêrangan wontên ing awang-awang, damêl cingak saha gêtêripun para ajar tuwin para murid ingkang sami ningali. Dangu-dangu kudhi tugêl dados kalih, dhawah mangandhap sarêng kalihan arit, nanging aritipun taksih wêtah. Ingkang sami ningali sadaya sami surak. Ajar Citragati mêksa dèrèng purun nungkul, santun nyandhak kêndhi kalihan wicantên, têmbungipun: "Coba sapisan manèh, timbangana kapitêranku iki". Sasampunipun wicantên makatên, kêndhi kauncalakên manginggil. Kêndhi mumbul ing awang-awang lajêng mubêng nglêtêr, isinipun botên kècèr sakêdhik-sakêdhika. Ki Pandhanarang enggal nyandhak têkênipun, kasawatakên dhatêng kêndhi, kêndhi kenging, ajur dhawah mangandhap, namung toyanipun taksih wêtah awangun kêndhi. Para ajar lan murid sami surak malih. Ajar Citragati rumaos kawon anggènipun ngabên kasagêdan, lajêng tumut nungkul, nunten dipun sahadatakên sêsarêngan kalihan ajar sanèsipun. Bibar wontên lêlampahan makatên wau Ki Pandhanarang lajêng yasa pondhok wontên ing gisik ingkang waunipun awujud sagantên nanging lajêng malih dados dharatan jalaran kadhawahan têkên kados ingkang kacariyosakên ing nginggil. Anggènipun manggèn wontên ing ngriku sêsarêngan kalihan santri kathah, sami sênêng gêsangipun, jalaran ing gisik ngriku kathah ulamipun. Dene tiyang èstri ingkang dados kèngkènanipun Ki Pandhanarang ngantos dados jalaranipun para ajar sami nungkul ngrasuk agami enggal wau, lêstantun manggèn wontên ing Tirang, namung sabên dintên ngintun têtêdhan dhatêng pondhokipun Ki Pandhanarang. Salajêngipun tiyang ingkang sami manggèn ing sakiwa-têngênipun pondhokanipun Ki Pandhanarang saya dangu saya kathah. Sabên taun gisik wau mindhak wiyar jalaran kawêwahan walêd ingkang kasêmpyok utawi kabêkta dening yoya dhawah kantun ing gisik ngriku. Mindhakipun wiyar mangilèn, jêmbarakên pasitèn tumrap ingkang sami badhe dêdunung ing ngriku. Saking parêdèn ugi kathah tiyang-tiyang ingkang sami pados papan padunungan ing ngriku, sarta salajêngipun ugi sami ngibadah ngrasuk agami Islam. IX. KYAI AGÊNG PANDHANARANG KAPUNDHUT MANTU BATHARA KATONG NGANTOS PÊPUTRA Gêntos kacariyos, ingkang madêg adipati ing Panaraga, punika putra nata ing Majapait Prabu Brawijaya ingkang wêkasan, ajêjuluk Bathara Katong. Punika dèrèng krêsa ngrasuk agami Islam. Rumiyin nalika kaatag dhatêng ingkang raka Sang Panêmbahan ing Dêmak, sagahipun samangsa ingkang rama Prabu Brawijaya sampun seda. Wusana ingkang rama sampun surud, sang adipati lajêng sumingkir, tindak mratapa ing parêdèn Pencor. Sang Panêmbahan ing Dêmak mirêng bab wau, sangêt dukanipun, lajêng mborongakên dhatêng Ratu Wadat (Sunan Bonang). Sunan Bonang lajêng utusan bangsa luhur dharah Arab, nama Sèh Walilanang, kadhawuhan madosi lan ngislamakên Bêthara Katong. Utusan ugi enggal-enggal mangkat. Kacariyos Kyai Katong punika pêputra kalih, putri sadaya,.Pambajêngipun sampun ngancik diwasa, ingkang waruju kirang langkung taksih umur sadasa taun. Sadangunipun wontên ing parêdèn wau Kyai Katong sangêt anggènipun manggalih dhatêng ingkang putra kêkalih, kuwatos manawi botên sagêd madosakên jodho ingkang satimbang. Wusana lajêng tuwuh pangunandikanipun makatên: "Mati ya mati, nanging nèk anakku wis padha mêntas, olèh papan sing kêpenak. Sanadyan kêpêksa ngrasuk agama anyar, iya dak lakoni, janji anakku karo pisan padha olèh papan sing bêcik. Ing êndi prayogane anggonku arêp salin agama". Nalika punika Kyai Katong lajêng priksa cahya mancorong wontên lèr kilèn. Pangandikanipun: "Sing mancorong kae apa. Mbokmanawa iku pituduh sing wigati. Yèn mêngkono bêcik dak paranane!" Kyai Katong lajêng mangkat ngalèr ngilèn. Putra kêkalih kabêkta. Botên antawis dangu Sèh Walilanang dumugi ing parêdèn Pencor. Nanging Kyai Katong sampun botên wontên. Sèh Walilanang lajêng tindak ngalèr ngilèn, nututi Kyai Katong. Tindakipun Kyai Katong dumugi ing Jurangsuru. Ing ngriku kèndêl sawatawis, pinanggih tilas ajar nama Nayagati ingkang sampun ngrasuk agami Islam, sarta dados sakabatipun Ki Pandhanarang. Sasampunipun têpang-têpangan, Kyai Katong lajêng nyariyosakên yèn anggènipun tindak saking parêdèn Pencor punika badhe murugi cahya ingkang katingal mancorong saking katêbihan, wusana wontên ing patrukan ingkang dumunung wontên ing pinggir sagantên cahya wau ical. Nayagati kadangu punapa sumêrêp dhatêng ingkang dêdunung wontên ing patrukan wau.
Wangsulanipun: "Inggih sumêrêp, punika Ki Pandhanarang, guru kula, taksih timur tur kathah kasagêdanipun. Rumiyin asalipun saking Dêmak, wayah sang panêmbahan. Wontênipun ing ngriku kautus Sunan Bonang, kadhawuhan ngislamakên para ajar." Dipun aturi makatên wau Kyai Katong lajêng mundhut kadhèrèkakên dhatêng pondhokipun Ki Pandhanarang, lajêng ngandikakakên asal, asma tuwin wigatosing tindakipun. Kajawi punika ugi mratelakakên yèn karsa dipun Islamakên, sok ugi ingkang ngislamakên sanès Sèh Walilanang. Ki Pandhanarang mituruti sapanêdhanipun Kyai Katong. Sanalika ngriku Kyai Katong lajêng kaaturan ngapilakên sahadat. Kêlampahan sampun ngrasuk agami Islam. Putranipun ingkang pambajêng kaparingakên dados têtimbanganipun Ki Pandhanarang. Botên antawis dangu Sèh Walilanang dhatêng ing pondhokipun Ki Pandhanarang, tinampi kalihan sae. Sèh Walilanang ngandharakên anggènipun dados utusan, lajêng dipun cariyosi manawi Kyai Katong sampun dipun Islamakên dhatêng Ki Pandhanarang piyambak, Sèh Walilanang lêga manahipun, tangan kaêcungakên manginggil kalihan tumênga ngucap sukur dhatêng Pangeran sarta nyuwunakên widadanipun Kyai Katong. Wontên ing pondhokipun Ki Pandhanarang Sèh Walilanang sinubya-subya, sarta lajêng dipun jak rêmbagan. Wosing rêmbag Sèh Walilanang dipun têdha damêlipun kapurih ngrencangi ngislamakên têtiyang ing laladan ngriku. Ing gisik sawetaning patrukanipun Ki Pandhanarang pasitènipun sae, Sèh Walilanang kapurih ngênggèni. Sèh Walilanang botên suwala. Sarèhning papan padununganipun Ki Pandhanarang kala samantên dèrèng dipun sukani nama, Sèh Walilanang mrayogèkakên supados kanamakakên Sêmarang, kapêthèk ing têmbe panggenan wau badhe dados agêng, dipun ubêngi pagêr banon sarta kathah tiyangipun. Sèh Walilanang wiwit têtruka. Ing ngriku lajêng yasa susukan, lêncêng anjog ing sagantên, kangge margi toya ingkang nginggahakên êndhut murih inggilipun pasitèn wau. Papan padununganipun Sèh Walilanang wau kanamèkakên Kaligawe. Lami-lami ugi kathah tiyang ingkang sami tumut dêdunung ing ngriku. Nuju satunggaling dintên Ki Pandhanarang lan Kyai Katong sami rêmbagan. Kyai Katong dipun aturi supados tindak mangilèn, madosi panggenan ingkang wontên witipun wungu dhoyong manglung ing pinggir lèpèn. Panggenan wau kaaturan mbukak, awit ing têmbe sanadyan alit badhe dados kitha. Kyai Katong ngèstokakên, lajêng bidhal mangilèn, putra ingkang waruju kadhawuhan ndhèrèk. Tindakipun saèstu mrangguli wit wungu ingkang manglung ing lèpèn. Lajêng yasa pondhok nglêmpakakên tiyang ingkang purun. Danguning-dangu panggenan wau kathah tiyangipun, lajêng misuwur nama Kaliwungu. Ingkang sami dhatêng manggèn ing ngriku sami maguru dhatêng Kyai Katong. Kacariyos wontên tiyang saking Bagêlèn nama Prawita, dhatêng tumut têtruka ing Kaliwungu lan maguru dhatêng Kyai Katong. Prawita wau mantêp lan tabêri sangêt anggènipun nggêgulang ngèlmi, sangêt ndadosakên karênanipun Kyai Katong, ngantos lajêng kaangkat dados guru lan kapundhut mantu. Inggih mantunipun Kyai Katong wau ingkang nurunakên para tuwan tanah ing Kaliwungu. Kacariyos ing Dêmak sang panêmbahan sèlèh kalênggahanipun, ginêntosan dening putra. Saking kaparêngipun sang panêmbahan enggal, ingkang putra Ki Pandhanarang kaparingan sêsêbutan pangeran, dene ingkang paman Kyai Katong kawênangakên ngagêm sêsêbutan Sunan Katong. Ingkang makatên wau mawi sinêksenan dening para agung tuwin pana pangagêng. Pangeran Pandhanarang lêstantun dêdalêm wontên ing Sêmarang. Putranipun sakawan, kakung kalih putri kalih, kaparingan nama Radèn Kaji, Radèn Kêtip, Bokmas Katijah lan Bokmas Aminah. sarêng sampun sami diwasa putra sakawan wau inggih lajêng sami krama sadaya. Radèn Kaji pikantuk putranipun Pangeran Panggung lan Radèn Kêtip pikantuk anakipun Sèh Walilanang. Sèh Walilanang kala samantên sampun santun nama Maulana Alus Islam lan madêg dados imam ing Sêmarang. Anakipun tiga, jalêr kalih, èstri satunggal. Punika sadaya kapundhut mantu dhatêng Pangeran Pandhanarang. Botên watawis dangu Sunan Bonang ing Tuban seda. Pangeran Pandhanarang ugi tindak nglayat. Sakonduripun saking nglayat, lajêng gêrah ngantos seda. Radèn Kaji lan Radèn Kêtip sami sowan dhatêng Dêmak prêlu ngaturi priksa sedanipun ingkang rama. Saking kaparêngipun sang panêmbahan, Radèn Kaji kadhawuhan nggêntosi ingkang rama ngagêm sêsêbutan Dipati Mangkubumi. Dene Radèn Kêtip kawisudha dados patih mbiyantu ingkang raka. Jumênêngan dipati wau sinêngkalan: muktiningrat catur bumi (taun 1418). Bibar sowan sang panêmbahan wau sang dipati tuwin patih sami nglajêngakên lampah, gêntos sowan gurunipun inggih punika Sunan Kalijaga ing Adilangu. Sunan Kalijaga dipun aturi priksa wontêning lêlampahan sangêt jumurung, ngucap suka-sukur dhatêng Pangeran. Dipati Mangkubumi kaparingan pangèstu sarta dipun wêling supados lêstantun anggènipun ngidhêp dhatêng pangeran lan adil anggènipun nindakakên paprentahan. Patih Radèn Kêtip ugi kaparingan pitêdah warni-warni sarta kadhawuhan mituhu lan mantêp anggènipun ngrencangi ingkang raka. Bibar kaparingan pangèstu lan dipun pangandikani warni-warni wau, Dipati Mangkubumi kondur dhatêng Sêmarang, wiwit nindakakên padamêlanipun suwargi ingkang rama. X. ADIPATI MANGKUBUMI ING SAMARANG TILAR KAMUKTÈN, NGANTOS JUMÊNÊNG WALI, SUNAN TÊMBAYAT Sarêng sampun sawatawis dangu anggènipun ngasta paprentahan, Dipati Mangkubumi utusan abdi ingkang pinitados dhatêng Adilangu prêlu nyaosakên pisungsung dhatêng Sunan Kalijaga awujud agêm-agêman tuwin arta. Dhatênging utusan, Sunan Kalijaga pinanggih sawêg macul wontên ing pakawisan. Utusan matur saprêlunipun. Sunan Kalijaga ngandika makatên: 

"Matura karo bêndaramu yèn wis dak tampa, bangêt panarimaku. Aku gênti awèh pisungsung, iki caosna marang bêndaramu". Anggènipun ngandika makatên wau kalihan namakakên paculipun mbrengkal siti kaparingakên dhatêng utusan. Utusan inggih sangêt gumunipun dene dipun caosi pisungsung ingkang agêng pangaosipun têka namung gêntos maringi siti saprongkol. Ewadene inggih matur sandika, nyuwun pamit lajêng wangsul, kalihan ambêkta prongkolan siti paringipun Sunan Kalijaga. Sadumuginipun ing Sêmarang sang adipati botên wontên ing dalêm jalaran sawêg sowan dhatêng Dêmak. Utusan nusul dhatêng Dêmak. Dumugi ing Dêmak lajêng ngaturakên lêlampahanipun sarta nyaosakên buntêlan mawi kapratelakakên isinipun. Sang adipati gumun, nanging sarêng buntêlan kabikak, priksa prongkolan siti sampun malih dados jêne, sangêt amlênggong. Dipun galih-galih, rumaos yèn dipun sêmoni Sunan Kalijaga anggènipun taksih nêngênakên dhatêng kadonyan. Sakala ngriku tuwuh kêkênthêlaning panggalih badhe mratobat sarta badhe nênêpi ngudi sampurnaning kasidan. Lajêng sèrèh kalênggahanipun, ingkang rayi Radèn Kêtip kadhawuhan anggêntosi dados adipati ngêrèhakên laladan Sêmarang.

[7] Bibar pasrah-pasrahan lajêng sowan dhatêng sang panêmbahan ing Dêmak prêlu nyuwun palilah anggènipun badhe nglêksanani karsanipun. Sang panêmbahan njurungi lan maringi idi pangèstu. Samunduripun saking ngarsanipun sang panêmbahan, adipati Mangkubumi gêntos sowan Sunan kalijaga, ugi prêlu nyuwun pangèstu. Sunan Kalijaga mrayogèkakên, kanthi ngucap suka sukur dene sang adipati sampun èngêt, badhe ngudi dhatêng kautamèn tuwin kasampurnan. Mila Sunan Kalijaga inggih lajêng maringi idi pangèstu. Adipati Mangkubumi lajêng bidhal mêngkêrakên kamuktèn, tindak mangidul kadhèrèkakên garwa kêkalih. Salajêngipun sang adipati wau rawuh ing dhusun Têmbayat. Wontên ing ngriku dangu-dangu pikantuk pangaksamaning Pangeran, ngantos sagêd madêg dados wali. Turunipun sami nglajêngakên dêdunung ing Têmbayat, lêstantun ngantos dumugi sapriki. Dados manawi miturut suraosing sêrat Kandha, ingkang madêg dados bupati wontên Sêmarang ngagêm sêsêbutan Pangeran Pandhanarang punika Radèn Made Pandhan putra Radèn Sabrang Wetan, wayah sang panêmbahan ing Dêmak. Dene ingkang madêg dados wali ing Têmbayat punika sanès Pangeran Pandhanarang  wau, nanging ingkang putra, Adipati Mangkubumi. Kajawi ingkang sampun kaandharakên ing nginggil wontên malih sêrat ingkang nyêbutakên asal-usulipun Sunan Bayat, inggih punika Sêrat Sajarah Dalêm, damêlanipun Ki Padmasusastra. Ing ngriku kapratelakakên bilih putranipun Nata Majapait ingkang wêkasan, Prabu Brawijaya V, punika sadaya wontên satus langkung satunggal. Putra samantên kathahipun wau wontên gangsal ingkang asmanipun prêlu kasêbutakên ing ngriki, jalaran wontên gêgayutanipun kalihan ingkang kacariyosakên ing nginggil, inggih punika: 1. Putra nomêr 94, asma Radèn Jaka Supana, alias Radèn Têmbayat; 2. Putra nomêr 97, asma Radèn Jaka Bodho, ingkang sabêdhahipun kraton Majapait dados sakabatipun Sunan Bayat, kadhawuhan dêdunung ing Majasta lajêng katêlah asma Kyai Agêng Majasta (kacocogna kalihan ingkang kacariyosakên ing nginggil kasêbut ing kaca 29); 3. Putra nomêr 98 asma Radèn Jaka Pandhak, punika ugi dados sakabatipun Sunan Bayat, kaparingan asma Sèh Kaliatu; 4. Putra nomêr 99, asma Radèn Jaka Wajak alias Radèn Jaka Wujil, ugi dados sakabatipun Sunan Bayat, kaparingan nama Sèh Sabukjanur (kacocogna kalihan ingkang kacariyosakên ing kaca 6); 5. Putra nomêr 100, asma Radèn Jaka Bluwo, ugi dados sakabatipun Sunan Bayat, kaparingan asma Sèh Sêkardalima. Manawi miturut suraosipun Sêrat Sajarah Dalêm wau mêsthinipun ingkang dados wali ing Têmbayat punika inggih putra Nata Majapait ingkang wêkasan ingkang kasêbut asma Radèn Jaka Supana alias Radèn Têmbayat. Klêmpaking pratelan ingkang nyariyosakên asal-usulipun Kyai Pandhanarang inggih Sunan Bayat, punika wontên warni tiga: 1. Nyariyosakên bilih Kyai Pandhanarang punika Prabu Brawijaya ingkang wêkasan; 2. Ngandharakên yèn ingkang madêg dados bupati ing Sêmarang asma Pangeran Pandhanarang punika Radèn Made Pandhan, putra Radèn Sabrang Wetan, wayah sang panêmbahan ing Dêmak sarta ingkang dados wali ing Têmbayat punika putra Radèn Made Pandhan ingkang asma Radèn Kaji, ingkang ugi dados bupati, asma Adipati Mangkubumi; 3. Mratelakakên yèn putra Nata Majapait ingkang wêkasan, Prabu Brawijaya V, punika wontên ingkang asma Radèn Jaka Supana alias Radèn Têmbayat. Punika pundi ingkang lêrês, kasumanggakakên dhatêng para maos anggènipun badhe mastani. Minangka pungkasaning cariyos ing ngriki badhe nyêbutakên asma utawi sêsêbutanipun para putra-wayahipun Sunan Bayat, run-tumurun dumugi dintên samangke, mirid saking cathêtan ingkang kacariyosakên taksih kasimpên dumugi sapriki. Miturut cathêtan wau: 1. Sunan Têmbayat pêputra Panêmbahan Jiwa (inggih punika ingkang kacariyosakên ing nginggil kabêkta Nyai Agêng kaliwungu ndhèrèk Kyai Agêng Pandhanarang saking Sêmarang dhatêng Têmbayat); 2. Panêmbahan Jiwa pêputra Panêmbahan Mênangkabul; 3. Panêmbahan Mênangkabul pêputra Panêmbahan Masjidwetan I; 4. Panêmbahan Masjidwetan I pêputra Panêmbahan Masjidwetan II; 5. Panêmbahan Masjidwetan II pêputra Pangeran Sumêndhi Anggakusuma lan Pangeran Sumêndhi Sidik; 6. Pangeran Sumêndhi Sidik pêputra Pangeran Tabiyani 7. Pangeran Tabiyani pêputra Pangeran Ngabdani ingkang kapundhut mantu suwargi Sampeyan Dalêm Ingkang Sinuhun Kangjêng Sultan ing Ngayogyakarta ingkang kaping kalih; 8. Pangeran Ngabdani  pêputra Radèn Ayu Tandhanêgara; 9. Radèn Ayu Tandhanêgara pêputra Radèn Mas Masjidwetan III; 10. Radèn Mas Masjidwetan III pêputra Radèn Mas Masjidwetan IV; 11. Radèn Mas Masjidwetan IV, pêputra tiga, kakung kalih, putri satunggal (punika mbokmanawi taksih sami sugêng dumugi dintên
samangke)

1.             § Gotèk sanèsipun nyariyosakên bilih tiyang ingkang sami ambegal
nyai agêng wau tiyang tiga. Sambatipun nyai agêng dhatêng ingkang jalêr botên: "Kêbangêtên, kyai, ana wong salah têka tega", nanging
mungêl: "Nêdha tulung, kyai, wontên tiyang salah tiga". (kembali)
2.             § Kapratelakakên Jabalkat punika rêdi wadhahan ingkang ngubêngi lan
ngayomi dhusun Têmbayat. (kembali)
3.             dhisik ta. (kembali)
4.             § Kacariyosakên: Kyai Gagakdhoka lan Kyai Dakawana punika
rumiyinipun abdinipun Prabu Brawijaya ing Majapait ingkang kasêbut nama Sabdapalon lan Pak Mêlik utawi Nayagenggong. (kembali)
5.             § Kacariyos sarêng tilar donya Sèh Domba kakubur wontên ing rêdi
Cakaran, dene Kyai Kèwèl wontên ing dhusun Jimbung. (kembali)
6.             § Madêgipun Radèn Kêtip sinêngkalan: rasa guna rasaning rat (taun
1434). [Jika yang benar sengkalannya, mestinya angka 1636 jika yang benar tahunnya, maka sengkalannya salah]. (kembali)