Ayahanda R.Soekari meninggalkan wasiat buku silsilah yang ditulis dalam huruf Jawa dan disalin saya, silsilah berawal dari Sunan Bayat atau nama lainnya Pangeran Mangkubumi atau Susuhunan Tembayat atau Sunan Pandanaran dua (II) atau Wahyu Widayat, Sunan Bayat adalah tokoh penyebar agama islam di Jawa yang disebut-sebut dalam sejumlah babad serta cerita-cerita lisan, Sunan Bayat terkait dengan sejarah kota Semarang dan penyebaran awal agama Islam di Jawa. Makam Sunan Bayat terletak di perbukitan "Gunung Jabalkat" di wilayah Kecamatan Bayat - Klaten - Jawa Tengah dan masih ramai diziarahi orang hingga sekarang. Dari sana pulalah konon Sunan Bayat menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat wilayah Mataram. Sunan Bayat dianggap hidup pada masa Kesultanan Demak (abad ke-16).Terdapat beberapa versi mengenai turunan Sunan Bayat, dengan adanya blog ini saya harap dapat mempersatukan, saling melengkapi dan bersilaturrahmi antar teturunan Sunan Bayat khususnya keluarga R. Soekari bin R.Kromodiwirjo.

Sunan Bayat adalah leluhur dari R.Soekari Kromodiwirjo.

Raden Soekari Kromodiwirjo adalah keturunan dari Sunan Bayat sebagaimana tertulis didalam catatan silsilah keluarga Soekari yang ditulis dalam huruf Jawa.

Pangeran Bayat atau Susuhunan Tembayat mempunyai gelar Sunan Pandanaran atau juga dikenal dengan sebutan Sunan Bayat yang makamnya terletak di perbukitan Jabalkat, Bayat Klaten, Jawa Tengah. Sunan Bayat mempunyai putera yang tinggal berpisah pisah, diantara putra putrinya tersebut salah satunya tinggal di Kampak, Trenggalek, Tulungagung sebagai Pengageng Merdiko, yaitu R.Ronosentiko.

R.Ronosentiko mempunyai putera 2 orang yaitu,

1. R.Kromodiwirjo,

Mantri Tondo di Distrik Kampak Trenggalek, waktu itu pajak masih ke Solo.

2. R.Malangdiwirjo, Mantri Sarang burung Munjungan Trenggalek, pajak masih ke Solo.

R.Kromodiwirjo, mempunyai putera 3 orang yaitu :


1. R.Karmonodiwirjo, Pengageng Merdiko Distrik Panggul. Dibunuh oleh Belanda, dipotong menjadi 3 bagian dibuang secara terpisah (konon karena kesaktiannya, supaya tidak hidup kembali). Kepalanya ditancap ditonggak diletakkan diperempatan jalan, lehernya dibuang ke sungai hanyut sampai ke laut selatan , sedangkan badannya dikubur di Barat Sungai Nggayam Panggul. Beliau tidak mempunyai putera atau tidak jelas keterangannya.


2. R.Brontodiwirjo, Demang Senden Kampak, Trenggalek, mempunyai putera
1 orang yaitu, R.Kromodiwirjo (nama nunggak semi), juga sebagai Demang Senden Kampak, Trenggalek.


3. R.Karjodiwirjo, Demang Bendo Kampak, Trenggalek, berputera 7 orang yaitu,

1.R.Prawirodiwirjo, 2.R.Padmodiwirjo, 3.R.Hargodiwirjo, 4.Rr.Soetarminah, 5.R.Notowasito, 6.R.Djora /Mudjio, 7.R.Soewadi /Poedjodiwirjo.

R.Kromodiwirjo (nama nunggak semi) mempunyai isteri R.AyuSoemirah berputera 11 orang yaitu,
1.R.Soenito Hardjo
2.R.Samad Prawiro Sentono
3.Rr.Oemi
4.R.Moeradji Sastrodipuro/ Sastrodiwirjo
5.R.Koesno/ Soepardi (kembar)
6.R.Maliat Wido Sadjono (kembar)
7.Rr.Soetjilah
8.R.Soekari
9.R.Soedjadno
10.R.Soekandar
11.Rr.Soeistilah

1).R.Soenito Hardjo,

mempunyai putera 5 orang yaitu,
1.R.Rustamgushadji /Harminto, 2.R.Haripi (Makasar), 3.Rr.Djami Sriani, 4.Rr.Rukmini, 5.R.Hadi (Surabaya).


2).R.Samad Prawiro Sentono /Soewadji mempunyai istri Muinah,

berputera 6 orang yaitu,
1.Rr.Suwarni, 2.R.Sunari, 3.Rr.Murtini, 4.Rr.Murdiyah, 5.R.Mursidi, 6.Rr.Sri.


3).Rr.Oemi x Muljono

berputera 4 orang yaitu,
1. R.Mulyono Slamet, 2.R.Rustam Adji, 3.Rr.Srimulyani, 4.Rr.Ruby.


4).R.Moeradji Sastrodipuro,

berputera 3 orang yaitu,
1.R.Fatah /Totok, 2.Rr.Ni, 3.R.Hadi.


5).R.Koesno /Soepardi x Siti Suwarni

berputera 11 orang yaitu,
1.Rr. Kustinah, 2.Rr.Suratmini, 3.R.Sunjoto, 4.R.
Suprapto, 5.Rr.Kustijah 6.R.Suharsono,

7.R.Suhardi /Djoko, 8.R.Sumedi, 9.R.Sudradjat, 10.R.Suhartono, 11.R.Suharikusno.


6).R.Maliat Widosadjono

mempunyai putera 1 orang yaitu,

1.Rr.Watini


7).Rr.Soetjilah, tidak mempunyai putera.


8).R.Soekari mempunyai istri Soekarmi, berputera 3 orang yaitu,
1.Rr.Winarti, 2.R.Timbul Sudjoko Wahono, 3.R.Suko Wahyudi.

9).R.Soedjatmo, Tidak mempunyai putera (?).

10).R.Soekandar, Tidak mempunyai putera (?).

11).Rr.Soeistilah, Tidak mempunyai putera (?).


Selasa, 15 Januari 2013

Ketika ku mengenangmu IBU

Ketika ku mengenangmu  IBU


“ mBuuuull………………….maghrib !
Surup surup kok ndhik njobo (maghrib maghrib kok diluar).” Teriak Ibu sambil masuk Jeding. “ Maghrib maghrib itu masuuuk jangan terus dihalaman nggak iloh le, banyak setan lewat ! Sembahyang sana ! nenuwun marang Gusti, ben slamet, pinter sekolahe, akeh rezekine.” Tak lama adikku yang masih sekolah di Taman Siswa masuk, pulang. Sementara masih kedengaran suara lembut ibuku dalam bahasa Jawa mendoa………………………… “ Duh Gusti ingkang Moho Suci, Engkaulah yang membuat hidup dan mati, lindungilah kami dari segala keburukan, sejahterakanlah kami, berikanlah kami jalan yang Engkau telah tunjukkan Ya Allah, jadikanlah anak anakku orang yang senantiasa berguna untuk keluarganya,saudaranya, orang tuanya, Agamanya serta Nusa dan Bangsanya. Ya Allah berikanlah kami kesehatan lahir dan batin, terima kasih atas rezeki yang telah Kau limpahkan kepada kami, Ya Allah, ampunilah kami………………………………. Amiiin.” Hatinya tegar semangatnya besar, ingatannya tajam, kasihnya tulus. Dibibirnya selalu penuh dengan doa doa panjang untuk kami anak anaknya, semoga bahagia….semoga sejahtera…..semoga….semoga…………………………
Kuingat dua bait lirik Iwan Fals dalam lagunya “ IBU “………seperti udara kasih sayang yang kau berikan, tak sanggup kumembalas Ibuu…..Ibuuu.

“Penyakit jangan dimanja ! katanya “ Mundak kerasan.” Ibu suka marah kalau kami gampang menyerah. Ibuku pandai cerita, mendongeng. Dari mulai cerita Wayang, sejarah, asal usul nama nama Kota di Jawa, Babad Tanah Jawi, juga jaman perang Kemerdekaan, Bapak dicari cari oleh Belanda, rumah kami dibakar. Waktu mengungsi, oleh Kakek ayah Ibuku, Bapak sekeluarga diambilkan daun Keladi yang berdaun lebar kalau di Jawa namanya Bentul, masing masing disuruh pakai payung daun tersebut, supaya matanya Belanda jadi “siwer” tidak melihat dan kami sekeluarga selamat meneruskan pengungsian menyeberangi kali Laor. Didalam pengungsian kakakku perempuan “kemasukan”dan menjadi pintar (dukun cilik). Dari rumah yang dibakar tersebut yang tersisa adalah Tombak dan Keris Bapak yang masih kusimpan sampai saat ini. Keanehan keanehan dan kesaktian kakek buyut dijaman penjajah, ada yang tak bisa meninggal bila tubuhnya tidak dipisah pisah akhirnya tubuhnya dipotong potong oleh Belanda ; Kepalanya ditancap di tonggak ditaruh diperempatan jalan, lehernya di hanyutkan ke sungai sampai ke laut selatan dan tubuhnya dikubur dibarat sungai Nggayam Panggul. Banyak lagi cerita cerita serupa seperti itu bahkan cerita cerita Gaib yang mengasyikkan. Sampai sekarang beberapa masih kuingat cerita itu. Apalagi cerita Wayang, antara lain kisah Mahabharata, Karno Tanding, Bisma gugur, lahirnya Wisanggeni, lahirnya Gatotkaca, Harjuno Sosrobahu serta yang lain lainnya. Dan aku paling suka tokoh pewayangan Bima, Ksatria kedua Pandawa. Malah khusus kutempa, kupesan di tukang pembuat Wayang kulit tetangga Ibu, kubawa ke Jakarta. Kala malam malam kuingat tembang menjelang tidur itu (orang Jawa bilang di uru uru). Suara Ibu memang merdu, sepotong yang kuingat.”Ojo turuu soreee kakii…ono Dewoo nganglang jagad…………dan aku terlelap sampai pagi. Ayahku punya seperangkat Gamelan. Pabila sore sore kami kumpul, Ayahku yang nggender atau nyiter, Ibu yang nembang. Pangkur, Mocopat, Kinanti, Dandang gulo, Maskumambang dan masih banyak lagi. Kami larut dengan suara Ibu dalam iringan gending gamelan Bapakku.   Tenang dan tenteram.

Ibuku adalah perempuan kebanggaanku. Beliau serba bisa, tegas, pemberani dan sebagai wanita sangat disegani. Ketrampilan Ibu banyak sekali, mulai dari menjahit, border, merajut (mbentel), membuat tas dari manik manik, sampai anyaman rotan untuk tempat buah atau hantaran. Apalagi memasak atau membuat kue, ahlinya. Bak merek Rumah makan Padang “ Bundo Kanduang,” pasti enak dan sedap rasanya karena masakan Ibunya. Ada semacam grup kolega Ibu yang selalu kumpul bila ada yang mantu atau selamatan misalnya, beliau beliau itu membantu masak atau membuat kue,  “mbiyodo” namanya. Masih jelas dibenakku beliau beliau ini adalah ; Bu Sastro, bude Jupri, bu Mangku, bu Mul, atau bu Puji bahkan Yu Yah ikut di grup Ibu  ini, aku masih menyimpan fotonya. Aku masih ingat bajuku model sendiri ala Ibu, serta jaket rajutan (sweater) dari benang wool tebal kebanggaanku. Aku masih memakainya semasa SMA. 

Ada banyak cerita lucu tentang Ibu ketika kami masih tinggal dirumah besar. Disebut rumah besar karena rumahnya memang besar dengan jendela yang tinggi dan besar, sebesar pintu rumah rumah jaman sekarang dan pintunya apalagi, pintu pintu krepyak besar warna krem yang pegangan kuncinya dari keramik oval berwarna putih, juga halaman serta pekarangan belakang yang luas, ada pohon Kelapa, Kelengkeng, Jambu klutuk, Klampok (Jambu air), Rambutan, pohon Genitu (sawo Belanda), Moris (sirsak), Menuwo, pisang, Pepaya, Jeruk Bali yang besar besar itu, Belimbing buah, belimbing Wuluh, Kopi anjing yang buahnya menempel dibatang pohon (barangkali termasuk langka sekarang ini), Kelor, buah Mengkudu dan macam macam jenis tanaman disana bahkan pohon pohon besar seperti Randu kapuk yang pohonnya kehijau hijauan menjulang tinggi, pohon Asam dan lain lainnya. Dihalaman depan juga ada tanaman Kelengkeng yang bisa dibuat ayunan dan aku pernah jatuh pingsan karenanya, serta beberapa tiang tinggi tinggi kerekan burung Perkutut Ayahku selain dikanan kiri lisplang pendopo. Disamping kanan ada jalan panjang kebelakang menuju garasi dan disisi kanannya ada pohon jambu serta tanaman pagar entah apa namanya bunganya besar putih putih wangi. Untuk memasuki rumah tersebut harus naik trap (undak undakan) hampir  1 meter lebih tingginya ke pendopo yang ditengah tengahnya ada pot besar tempat Kuping Gajah yang ditanam Ibu. Agak masuk sedikit kedalam yang masih terbuka ada meja marmer persegi delapan yang hamper bundar serta beberapa kursi kayu yang berjok rotan mengelilinginya. Untuk masuk keruang tamu dalam ada pintu kupu kupu besar. Dirumah induk ada 4 kamar besar besar dikanan kiri dan 1 kamar sedang. Dikamar kiri depan kosong biasanya untuk menginap tamu tamu famili, dikamar kiri tengah kamar keluarga yu Yah (mas Ngadiman). Kamar depan kanan diisi seperangkat gamelan Bapak dan kamar Ibu di tengah kanan, dibelakang kamar Ibu ada kamar satu lagi dan disebelah kamar tersebut ada garasi mobil. Jadi posisi garasi ada dibelakang sedang dibelakang garasi ada sepen (gudang) ada kamar lagi untuk pembantu dan dapur belakang, ditengahnya halaman kosong yang bisa langsung menuju kepekarangan belakang yang banyak tanamannya itu. Sebelah kiri belakang yang dibatasi halaman kosong tersebut berhadap hadapan dengan Sepen, kamar pembantu dan dapur, ada satu ruangan kosong dan disampingnya berderet tiga kamarmandi.Jadi dibagian belakang ini ada atapnya tetapi kanan kirinya terbuka untuk menuju ke ruangan ruangan tersebut seperti bangunan untuk orang jalan dirumah sakit. Bahkan rumah ini katanya berhantu. Suatu hari Mas Di datang dari Lumajang berdua dengan anak buahnya dan menginap dirumah. Waktu itu mas Paidi ini kalau nggak salah Danramil disana, mas Di adalah suami dari yu Siti yang sekarang tinggal di Bali, jadi menantu keponakan Ibu. Menjelang tengah malam Ibu terbangun karena mendengar suara menderum derum seolah suara tersebut dari arah garasi, karena kamar Ibu posisinya ditengah sebelah kanan dan lebih tinggi dari garasi maka kedengaran jelas dari kamar Ibu. Ibuku ini orangnya kan pemberani, biasanya Ibu kalau kedengeran sesuatu dan bilang Bapak ; “ Pak ono uwong !“ ( Pak ada orang/maling!) Bapak hanya menyahut ; “ Tikus kuwi.”  Dalam hal ini tak berpikir lama Ibu mengambil sentolop (senter) dan pentungan lalu membangunkan mas Paidi yang sedang asyik bermimpi. “ Di, Di, tangio ! montormu dicolong maling !” kata Ibu pelan membangunkan mas Di (Di, Di, bangun! Mobilmu dicuri orang!). Akhirnya semua bangun, juga supirnya mas Paidi langsung lari menuju garasi. Ternyata mobil masih utuh disana tak kurang suatu apa, akhirnya semua masing masing masuk kamar kembali melanjutkan mimpinya. Tidak lama kemudian terdengar lagi mobil distarter orang, karena tidak enak Ibu bangun sendiri tak lupa senter dan pentungan ditangan. Lewat didepan kamar supirnya mas Paidi tadi suara mobil tambah kencang, usut punya usut ternyata pak supir tadi ngoroknya ngalahin mesin diesel huuur…huuuur…rokhgg...huuuur…rokhggg…(mendengkur).
Paginya ketika ramai ramai sarapan, ibu cerita tentang hal semalam, semua tertawa atas kejadian tersebut, mana ada yang berani waktu itu orang nyuri mobil tentara, mobil sipil saja maling takut,nggak seperti sekarang meleng sedikit amblas! Entah benar entah tidak, sepengetahuanku menantu menantu keponakan baik dari pihak Bapak atau Ibu sendiri, banyak menyayangi beliau ini. Sering mereka datang mengunjungi kami dan sangat perhatian kepada Ibu ; Seperti yang kuingat mas Nyoto dan yu Tiyah putra pakde Pardi, mas Haripi yang tentara putra pakde Nito (saya masih ingat diberi oleh oleh mainan pistol pistolan), sekarang beliau berada di Makasar, mas Musiran suami yu Sri yang di Talun Blitar (mas Musiran ini sangat memuji muji Ibu), nak Mukasim suami Win Jember, orangnya agak klotokan, ceplas ceplos tetapi baik hatinya, beliau ini yang menjemput saya dan Tulus  dari Pos Polisi Jember ke Sumberwadung ketika kami mencari mereka. Ibu bercerita bahwa kasur beliau baru; “ Dikirimi Mukasim.” kata Ibu, “ Iki kasure Yang Ti wis atos ! diganti ae, ndhik kebon akeh kapuk ! ” begitu Ibu menirukan gaya nak Mukasim bicara. Waktu itu kasur kebanyakan dari kapuk, bukan spring bed macam sekarang. Terakhir nak Kasim mengolok olok saya ketika kami bertemu di Jakarta dan saya sudah ganti mobil Kijang yang sebelumnya saya pakai sedan. “ Lha iki baru mobiiil, jangan kayak kemarin, pak Mbung”katanya. Jadi aku ingat betul bahwa beliaunya ini suka sekali dengan mobil minibus (artinya bisa rame rame, tidak egois barangkali). Sayang sekali beliaunya ini tidak berumur panjang, dipanggil Sang Khaliq ketika main tennis. Mas Iskak bapaknya Budi, juga sering datang kerumah. Mas Iskak ini ipar iparan dengan mas Paidi yang ceritanya diatas mobilnya mau dicolong maling. Adalagi mas No Wajak adik yu Lik Achmad Wajak, selalu menengok Ibu. Mas No ini pernah sakit dan dirawat oleh Ibu, jadi semacam anak sendirilah. mas Dari apalagi, sering sekali datang kerumah. Jadi akhirnya kami juga dekat dengan beliau beliau ini serta ada kenang kenangan tersendiri.

Aku masih ingat juga ketika Ibu memanggil bapak Guruku, Kepala Sekolah dan pak Polisi yang marah mau menahanku, kerumah. Gara garanya Guruku kelas V SR (SD) waktu itu, menampar murid perempuan teman sekelasku dan pingsan, sehingga aku dibawa ke Kantor Polisi supaya bersaksi bahwa aku juga ditamparnya. Karena saya nggak ditampar oleh Guruku tersebut, ya aku nggak mau bohong. Pak Polisi tersebut yang anak perempuannya ikut bersaksi dan kebetulan juga sama sama teman sekelasku itu, malah marah dan membentakku sambil menghentakkan bedilnya yang LE ke lantai menakutiku dan berkata : “ Nek ora gelem ngaku, mengko kowe tak tahan tak lebokke Bui ngarep kae !” (Kalau nggak mau ngaku, nanti kamu saya tahan dan dimasukkan ke Sel di depan sana !). Saya tetap bilang tidak. Akhirnya disuruh pulang. Jadi hari itu aku terlambat pulang. Ibu tidak suka kami mampir atau main main dulu selepas sekolah. Harus pulang dulu.  Sebelum Ibu bertanya kenapa terlambat pulang, aku langsung ceritakan kejadian tersebut kepada beliau. Keesokan harinya Ibu telah memanggil Kepala Sekolah, Guruku dan ternyata juga pak Polisi yang membentak mbentakku kemarin. Sampai sekarang masih kuingat namanya, Pak Hanjono. Sepintas kudengar diruang tamu kata kata Ibu ke pak Hanjono yang Polisi tersebut.“Sekali lagi bapak membawa anak saya ke Kantor Polisi dengan tidak sepengetahuan saya,pak Hanjono akan saya tuntut. Bapak tahu bahwa anak saya masih dibawah umur,kelas V SR.” “ Ya Bu, saya minta maaf.” Kata pak Hanjono. Dan Bapakku, dengan “diamnya”itu banyak orang yang merasa segan. Pasangan yang cocok dengan Ibu. Sebulan kemudian bapak Guruku tersebut dimutasi ke Sekolah lain. Sampai sekarang aku nggak habis pikir apa ada jampi jampi atau doa doa Ibuku sehingga setiap orang yang dipanggilnya mau saja datang kerumah. Ibu memang sangat dikenal dan disegani dikota kecilku itu. Bila Ibu mau keJakarta, waktu itu diperlukan surat jalan dari Kelurahan untuk bepergian, kami nggak perlu datang ke Balai Desa untuk mengambilnya, ada staf Kelurahan yang segera mengantar surat jalan tersebut. Pokoknya bilang saja “ Diutus bu Soekari.” (disuruh bu Soekari). Pasti 100% halal. Selain dikenal, Ibu memang suka menolong, sampai sampai bila ada yang mendadak mau melahirkan dan Bidan belum lagi datang, Ibu bahkan bisa dan mau menolongnya seperti dukun bayi sampai anak itu lahir. Itu barangkali salah satu, kenapa masyarakat disana banyak menghormatinya.

“ Ibukmu seperti Raden Ajeng Kartini!” Kata salah seorang teman SR ku ketika Ibu datang kesekolah. Bahkan menurutku, Ibuku lebih cantik dari Ibu Kartini yang sebenarnya. (maaf bu Kartini ya). Ibu adalah wanita yang adil dan penuh kedisiplinan. Bangun jam setengah 4 pagi dan kami sudah sarapan jam 6 pagi. Kedisiplinan itu berlaku bagi kami semua. Sesudah kakak perempuanku, sampai kelas 2 SMP aku masih bertugas belanja sayur ke Pasar. Dahulu ke Pasar mesti membawa keranjang sendiri dari rumah, tidak seperti sekarang, kita diberikan kantong plastik oleh penjualnya sehingga menimbulkan banyak limbah. Keranjang plastik tersebut saya letakkan dibelakang punggung, pegangannya kumasukkan ketangan sampai kebahu kanan kiri seperti sayap R.Gatotkaca. Berjalan menuju pasar sambil menghafal apa yang mau dibeli, pada waktu itu malu rasanya apabila belanja membawa catatan. Bila kami tidak tahu kualitas barangnya, misalnya beli ikan, selalu bilang saja “ Diutus bu Soekari.” Pasti beres. Aku mempunyai 2 saudara kandung dan 3 saudara angkat yang diambil sejak bayi oleh Ayah Ibu, yang 1 tidak jelas, yatim piatu dan Ibu tidak pernah menjelaskan siapa dia dan yang dua adalah keponakan Bapak, putera dari pak De. Karena sikap Ibu yang adil dan bijak,tidak ada diantara kami yang kandung merasa ada anak angkat. Itupun sungguh aku baru tahu setelah SMA bahwa beberapa kakakku adalah keponakan Ayah. Ibuku senang berpuasa dan tirakat,sehingga kami atau paling tidak aku sampai saat ini terbiasa dengan hal itu. Sekali sekali kami diajaknya ikut tidur dilantai dekat pintu, meninggalkan kasur kami yang empuk. Tirakat. Ada sesuatu hal yang penting ritual yang selalu dilakukan Ibu kepadaku, semisal aku mau ujian, Ibu selalu melangkahi aku berulang 3 kali dan aku menunduk jongkok sambil merapatkan kedua telapak tanganku seperti menyembah. Itu beliau lakukan terakhir ketika aku pergi ke Jakarta ini.

Ibuku memang luar biasa. Ibu adalah kebanggaanku, seperti kata kata penyair. “ Ibuku Cuma satu, tapi wajah hatinya kulihat diserba mana. Ibuku Cuma Ibunda, antara kami ada pesona rengkuhan kuat teramat ghaib dan terasa diriku seperti lumut ganggang laut. Panjang terentang menyibak muka air, mengembara dengan ketumbuhan pucuknya. Tapi akarku tetap menghunjam kedada Bunda. Ibuku Cuma satu, tapi wajah hatinya kulihat diserba mana.”

Delapan bulan kurang lebih Ibu di Jakarta dimana anak anaknya tinggal. Itupun untuk memboyong Ibu kemari susahnya setengah mati. Dengan segala usaha dan rayuan akhirnya Ibu mau juga. “ Panas disini, aku tak tahan.” Katanya, “ Pulang saja, aku ndak apa apa disana, aku akan lebih sehat disana, dirumahku sendiri.” Dan terakhir, Ibu seolah olah menakut nakuti kami. “ Pesan Swargi (almarhum) Bapakmu, aku ndhak boleh meninggalkan rumah lama lama, bahkan aku harus mati disana. Kasihan Bapakmu nek aku tinggal disini. Kemarin aku ngimpi Bapakmu rawuh (datang), aku mau diajak pergi…………. Dhawuhe Bapakmu nangkono luwih enak.” (kata Bapakmu disana lebih enak).

Semula memang aku ingin Ibu tinggal bersama kami diJakarta, dengan pertimbangan, Ibu sudah sepuh, tinggal sendiri dirumah bersama dengan keponakkanku yang masih sekolah dan seorang pembantu. Dan yang lebih merisaukan kami, Ibu punya darah tinggi, bila mendadak ada apa apa kami terpisah 1000 kilo, tidak bisa setiap saat menengok beliau. Memang ada salah satu keponakanku perempuan sudah berkeluarga yang sangat disayang oleh Ibu disana, tapi tak serumah, mereka agak jauh juga rumah tinggalnya. Pernah suatu waktu aku terima kabar dari keponakkanku yang bersama Ibu ; “ Yangti gerah, nek biso pak Mbung kondur.”( Yangti sakit, kalau bisa pak Mbung (panggilan akrab kepadaku dari semua keponakan keponakanku) pulang). Langsung aku minta ijin Kantor dan berangkat pulang. 1 hari semalam perjalanan, pagi sampai, dengan rasa penuh kekuwatiran mobilku kencang masuk kampung, persis didepan rumah, kulihat Ibu sedang bercanda di teras dengan keponakanku tersebut. Alhamdulillah. Rupanya Ibu hanya kangen dengan kami. Tapi cutiku habis dibuatnya. (Dalam hal ini saya sangat berterimakasih kepada mbak Tatik Bidan sebelah rumah Ibu yang selalu control dan perhatian bila Yang Ti sedang sakit,begitu beliau memanggil Ibu). Semula aku membayangkan Ibu pasti akan senang tinggal di Jakarta, walaupun meninggalkan cucu kesayangannya di kampung. Seandainya sedang tak berkenan di tempatku, ya kerumah kakak perempuanku, kalau sudah nggak kerasan dirumah kakak, ya bisa kerumah adikku. Begitu seterusnya. Dan kenyataannya tak bisa. Nggak semudah itu. Ternyata banyak hal yang kita tak mengerti kehendak orang yang kita cintai ini. Banyak contoh contoh serupa seperti ini dan kebanyakan orang tua tidak mau meninggalkan rumahnya. Ibu tak bisa ikut arisan atau aktif dikumpulan Ibu Ibu koleganya seperti disana dirumahnya,orang orang teman teman seusianya yang telah bertahun tahun bergaul dan mengenalnya. Ibu akan susah menyesuaikan peradaban dan ritme Jakarta yang begitu sibuk se olah olah semua dikejar kejar oleh waktu, semua dihitung dengan uang. Beda dengan disana, dirumahnya. Tenang, tenteram tidak kesusu susu, damai. Dan banyak hal hal lain yang menjadikan Ibu tak bisa tinggal menetap di Jakarta sini. Terakhir timbul ide supaya Ibu mau tinggal di Jakarta. Ibu harus punya rumah sendiri disini, tetapi dekat dengan kami. Ibu akan berkuasa dirumahnya sendiri seperti disana. Tetapi hal ini harus siap dana, sebuah rumah di Jakarta bukanlah hal yang sedikit. Halaman rumahku memang luas, kalau Ibu mau bisa dibangun rumah kecil kecilan untuk beliau, tapi ini bukan jalan keluar, masalahnya Ibu ndhak setuju. Atau lebih baik rumah Ibu dijual, dibelikan disini, kekurangannya kita tanggung rame rame, patungan (urunan). Semua setuju. Ibu yang tak setuju. Katanya : “ Aku ora biso tinggal di Jakarta ngger, Ibu nggak mau mati disini. Kasian Bapakmu.”   Jalan buntu………………………….

Kesehatan Ibu semakin berkurang dan selalu ingin pulang. Biar bagaimanapun ternyata beliau harus pulang dan kami harus cari jalan keluar lainnya bagaimana disana nanti. Kami kalah…………………… Tapi ada satu jalan keluar lagi. Kami kan berempat (tambah satu kakak angkatku). Setahun kan 12 bulan dibagi 4 sama dengan 3. Jadi 3 bulan sekali ada yang pulang mengunjungi Ibu, dengan perhitungan cuti kan setahun sekali. Setuju. Tapi pelaksanaannya tak begitu. Aku tak tahu apa yang ada dipikiran Ibuku. Apa benar memang Ibu ingin selalu dekat dengan Bapak. Demi kebahagiaan beliau akhirnya Ibu pulang, lucunya Ibu kelihatan sehat bersemangat. Tiga bulan setelah itu, Ibuku betul betul pulang menyusul Ayah. Aku termenung memaknai semua ini. Maafkanlah kami Ibu dan Ya Allah ya Tuhanku, ampunkanlah dosa dosanya,
terimalah Ibu dan Ayahku di SurgaMU.    Amiiin.

………….Seperti udara kasih sayang yang kau berikan, tak sanggup ku membalas………….Ibuuu………………………..Ibuu.

JAKARTA, 22 Januari 1993 Peringatan seribu hari wafatnya ibundaku tercinta Soekarmi. RMHS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar