Wong Jowo ilang
Jawane.
Kajawan, ora nJawani.
Sudah lama saya amati
dan sangat memprihatinkan bahwa saya sangat khawatir lambat laun orang Jawa
akan kehilangan jati dirinya, yaitu melupakan adat budayanya sendiri budaya
leluhur yang adiluhung. Terutama beberapa kaum muda Jawa, apalagi yang hidup
dikota kota besar telah terkontaminasi dengan budaya luar yang sok
modern,terkadang sok santri dan takut dibilang tidak ngetrend, tidak populer
dan kampungan bahkan memang tidak tahu sama sekali. Ada beberapa orang tua sudah enggan untuk memberikan
nasehat atau mengingatkan anak anak muda seperti kami dulu. Coba perhatikan
umumnya pada beberapa pasangan muda jaman sekarang, cara mendidik anak anaknya,
banyak diantara mereka enggan menasehati dan memberi contoh yang baik kepada
anaknya sehingga hal tersebut selain dapat membahayakan diri si anak tersebut
juga kadang kala menyusahkan orang lain. Beberapa orang tua jarang memberikan
pengertian apa maksud dari pelarangan pelarangan yang diberikannya, begitu juga
dengan maksud kenapa kita harus berdoa, jika doa di bunyikan hanya sebagai
lafal dan tidak diberikan pengertian yang hakiki terhadap maksud dan tujuan
berdoa maka kita akan kehilangan esensi berdoa, maksud dan tujuan dan kepada
siapa kita berdoa. Berdoa di sampaikan hanya sebagai ucapan kiasan, tidak
diiringi dengan pemahaman budi pekerti kenapa doa itu dipanjatkan. Beberapa
orang tua sudah bangga bila anak anak bisa menghafal doa sebelum tidur atau doa
sebelum makan dan lainnya. Barangkali mereka menganggap apabila sudah bisa
menghafal doa doa atau sedikit mengaji sudah yakin anak telah terdidik dengan
baik. Padahal seharusnya dari kecil anak anak mesti ditekankan dan ditanamkan
ajaran berbudi pekerti. Inilah sesungguhnya awal dasar pendidikan yang akan
berkelanjutan sampai mereka dewasa nanti. Bagaimana menghormati bapak dan ibu
guru, orang tua, teman teman, bertoleransi,malu bila berbuat keliru, mau
meminta maaf bila salah,tidak pelit pada teman, rukun dan masih banyak lagi. Dulu
ketika saya SD, ada orangtua yang kita kenal atau bapak ibu guru yang kita
lewati karena kita naik sepeda, saya selalu menyapa ; “Saya duluan pak/bu.” dan
ini adalah hal yang lumrah karena kita malu bila dikatakan sebagai anak yang
kurang sopan. Kalau dikampung akan ketahuan anak siapa, serta berdampak jelek
kepada orang tua kita masing masing. Coba pehatikan umumnya anak anak SD
sekarang, betapa mereka beraninya dan biasa saja terhadap guru gurunya. Bahkan
anak SMP, SMA,
seolah tak ada batas menganggap gurunya sebagai teman. Mahasiswa yang katanya
kaum intelektual banyak yang sibuk tawuran. Disamping kewibawaan sang guru yang
sudah pudar,ini semua tak lepas dari kealpaan kebanyakan orang orang tua jaman
kini, kealpaan para pemimpin bangsa.
Aturan totokromo,
unggah ungguh, sopan santun, isin, sungkan, teposliro, ngrumangsani sudah
hilang dari diri sebahagian orang Jawa pada umumnya, yang ada mau menange dhewe
mau pintere dhewe lan dadi sakkarepe dhewe. Orang Jawa yang tuapun sekarang
sudah tidak nJawani, lupa bahwa dia orang Jawa. Lihat para pejabat kita, banyak
yang orang Jawa, pandai tapi ora nJawani. Sudah tidak punya rasa malu,sungkan
apalagi etika totokromo, teposliro, rakyate podho sengsoro, gedhe pamrih lan
nafsune sehingga merusak tatanan Negeri ini. Banyak maling, koruptor, sikut
sana sikut sini,apalagi bila kita melihat TV, banyak kemunafikan yang ada. Lali
nek mengkono iku “ora ilok”. Sing dadi
penggedhe malah njajah bongsone dhewe. Orang Jawa pasti pernah mendengar kata
kata seperti ini; “ Lha wong anake ora “Jowo ” karo wong tuane.” (Lha anaknya
tidak “Jowo” dengan orang tuanya) atau “ Bojone ora “Jowo” karo mertuane.” (Suaminya/istrinya
tidak “Jowo” dengan mertuanya). “Jowo” disini bisa diartikan
“baik/perhatian/tidak pelit/dan hal hal baik lainnya”. Jadi bayangkan saja
bagaimana seharusnya tingkah laku seorang Jawa sehari harinya, karena kata
“Jawa” sendiri sudah menjadi arti yang baku yaitu “kelakuan atau sesuatu yang
baik”. Oleh karena itu apabila ada orang Jawa yang menyimpang dari aturan
aturan Jawa maka disebut tidak “nJawani.” Dulu orang orang luar menyebut kita
adalah bangsa yang ramah dan periang, sekarang bangsaku banyak beringas dan
berang. Dulu leluhur kita dengan adat dan budayanya pernah berjaya dan kesohor
sampai keluar negeri serta disegani sampai beberapa generasi, sekarang mati
mati dijajah secara ekonomi. Bahkan yang sangat membahayakan kita dan anak cucu
sekarang ini adalah ; Kita ini “dibunuh” secara pelan pelan oleh “saudara
sendiri”. Bayangkan betapa ngerinya, hampir semua makanan yang dijual dibubuhi
dengan “racun”, mulai dari beras, sayuran dan buah buahan. Diawetkan disuntik,
diberikan pemutih, semua tidak takut dosa tidak takut kuwalat ! Walaupun hal ini bukan perbuatan sebagian
orang Jawa saja. Maksud saya sebagai pejabat “Jawa” cepatlah bertindak untuk
mengatasi hal hal seperti ini dan jadilah pelopor yang berpatokan pada ajaran
nenek moyang dan falsafah Jawa yang luhur tadi. Apa tidak khawatir bahwa bangsa
ini nantinya akan jadi bangsa yang sakit raga dan jiwanya. Seperti halnya
Islam, adalah agama Rahmatanlilalamin begitupun orang Jawa juga mempunyai
falsafah, Memayu hayuning bawono yang
artinya secara keseluruhan sama : Manusia hidup di Dunia harus mengusahakan
keselamatan,kebahagiaan serta kesejahteraan seluruh umat dan alam semesta bahkan di Jawa ada tambahannya Ambrastho dur
Hangkoro yang artinya memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak. Alangkah
bahagia apabila kita bisa mencontoh akhlak Rasulullah, Nabi kita begitu rendah
hati, begitu sopan santun sehingga siapapun yang datang kepadanya, ia akan
berkata ; “Doakanlah diriku, keluargaku, sahabatku….” Padahal bukanlah beliau
yang membutuhkan doa kita. Kitalah yang membutuhkan doa beliau.
Sudah lama orang Jawa
sudah diajarkan ilmu sabar,sumeleh,pasrah, nrimo ing pandum. Wong kang sabar
lan narimo wekasane bakal pikantuk ganjaran soko kang Moho Kuoso. Seperti yang
dikatakan dibeberapa ayat, antara lain surat Al-Baqarah
(2) : 153. “Hai orang orang yang beriman, jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang orang
yang sabar.” ada juga disurat Al-Anfaal (8) : 66, serta sabda Rasulullah. Jangan
dianggap nrimo dan pasrahnya orang Jawa tidak berbuat, tetapi nrimo dan
kepasrahan orang Jawa adalah sesuatu kesabaran, keikhlasan dan pengertian yang
sangat dalam kepada kehendak Tuhannya.
Kemarin di Pasar
Minggu sambil menunggu teman, saya numpang duduk didekat ibu penjual sayur,
badannya agak kurus aclum kurang tidur. Kebetulan pula orang Jawa.
“ Sekarang
sepi kok pak mboten kados ndhek mbiyen, ini sudah jam 9.00, 25 iket aja belum
abis.” katanya. Ibu ini jualan Bayam ikat, daun singkong ikat dan kecambah.
“
Tadi malam dari jam berapa ?” tanyaku.
“ Jam sedoso pak ampun ten mriki,
biasane jam pitu mpun wangsul.”……
“ Tapi pak,” terusnya
“ Tuhan niku adil.”
Sambungnya cepat cepat seperti orang yang takut kualat.
“ Adile ten pundi buk
?” tanyaku lagi.
“ Lha riyen niko pak kulo tasih nguliyahake anak wedok. Riyen
niku kulo nek mbeto satus sampek satus seket iket, jam pitu mpun telas, jam
sementen niki kulo mpun ngaso ten nggriyo. Rumiyin diparingi luwih kalih Gusti
Alloh lha sakniki bocahe mpun lulus S1 dadi biayane mpun kurang mboten kathah
melih. Mbok menawi sakniki selawe iket mawon cukup.” jawabnya kalem dengan
bahasa Jawa pasar yang kentel.
“Jawane pundi buk ?” tanyaku .
“ Yoja pak
ngaler.” jawabnya sambil sekali sekali menata dagangannya lagi.
“ Lha disini
tinggal dimana ?” tanyaku lagi pengin tahu.
“ Nggih kontrak pak kalih anak
wedok wau, Alhamdulillah pak mpun nyambut damel ten Sunter. Jane nggih mpun
mboten angsal kerjo kalih piyambake, ning wong mpun biasa nyambut gawe dos
pundi malih. Nggih dilakoni mawon.”
Saya sangat simpati
dan terinspirasi dengan Ibu Jawa penjual sayur ini. Bila kita kaji dari kata
katanya yang ikhlas dia tidak protes terhadap siapapun bahkan dalam kesulitan
menjual dagangannya dia seakan maklum, tetapi tetap bekerja keras. Dari jam
10.00 malam sampai jam 9.00 pagi. Dan Ibu itu “nrimo ing pandum” serta pasrah
dengan kehendak Tuhan dia tetap sabar dan berusaha. Dengan mengeluh berbicara
“sepi” saja dia cepat cepat meralat ucapannya, bahwa “Tuhan itu adil”, dia
takut kualat karena kemarin waktu anaknya masih kuliah dia sadar bahwa sudah
diberikan rejeki yang cukup untuk membiayai anaknya tersebut. Biarpun badannya
kurus, lusuh dan wajahnya kuyu kurang tidur, bahasanya bahasa Jawa pasar, tetapi Ibu ini “sangat
Jawa”. Sangat jauh berbeda dengan kebanyakan pejabat pejabat Negeri ini yang
orang Jawa tapi hilang “Jawanya”.
Saya seorang Islam
Jawa, tentu saja ingin tetap ngleluri budaya leluhur. Sebelum Islam masuk ke
Negeri ini sudah ada adat istiadat aturan nenek moyang Jawa yang sangat luhur
ada yang hanya beda istilah didalam Islam, yang terkadang disalah kaprahkan dan
orang Jawa yang tidak mengerti mengiyakan atau yang sudah pinter belajar dari
luar negeri mau merubah tatanan. Oleh karena itu, “ Ayo wong Jowo yo dadi Jowo,
ojo ditinggal warisane poro leluhur ben ora ilang Jawane. Sing islam yo Islam,
sing budo yo Budo, sing hindu yo Hindu, sing kristen yo Kristen. Bagi orang
Jawa Islam, sebetulnya kita ini sudah cukup Islam, janganlah hidup dalam ilusi,
seolah dengan memelihara jenggot dan berjubah panjang lebih Islam. Itu adalah
adat dan budaya berpakaian masing masing negara, itu hanya penampilan,
contohlah akhlak Rasulullah. Saya petik sedikit kata kata Kangjeng Sunan
Kalijogo sebagai berikut : “ Ojo nganggo sarung palekat,wong Jowo yo budayane
Jowo.” Islam tetap Islam ning Jowo. Saya rasa kita tetap indah dan Islam bila
kita ke Mesjid pakai sarung batik dengan baju lurik misalnya. Selain
melestarikan budaya sendiri juga mempromosikan produksi dalam negeri, toh tak
kalah gaya kita memakainya. Ketimbang nanti diaku oleh bangsa Malingsia. Kojur
ane !
Suatu kali saya pergi
ke Samosir, saya tertarik barang barang souvenir yang dijual disana, saya
mencoba tanya harga dengan nada suara yang agak tinggi/keras menyesuaikan
seperti kebanyakan orang orang itu, karena saya pikir ini di kampung orang
Batak, saya tak mau kalah stan. Sungguh saya salah kira, ternyata mereka ramah,
suaranya tak meledak ledak seperti Simbolon teman aku di Jakarta, malu aku. Begitu
juga beberapa tahun yang lalu kami pergi ke pelosok di wilayah Jember tepatnya
di desa Sumberjambe, Sukosari, kebanyakan orang Madura banyak tinggal disana. Ketika
saya sedang bertamu dan duduk duduk diteras lantas ada seorang yang lewat
dijalan depan rumah, serta merta seorang Madura tersebut dengan sopan menyapa
kami “Ngapora” katanya, bahkan orang yang sedang lewat naik delmanpun bilang
kepada kami ngapora kala itu. Beda bila kita melihat seorang Madura di Surabaya
yang sudah terkontaminasi dengan kemajuan atau kehidupan ini; “ Dha’rema dhek dhek, kalo ndhak punya dhuit
ndhak usah gang pegang.” Suatu kali ketika ingin beli buah di kaki lima dan
nggak jadi, atau ketika kita naik becak sang pengemudi ngebut dan kita
menegurnya : “ Pelan pelan bang !” Jawabnya;
“ Telongewu saj ja mentak slamet.” Begitu pula halnya di Jawa Barat, ketika
saya pergi ke suatu kampong saya berpapasan dan tidak mengenal orang itu,
mereka menegur saya dengan “punten” katanya sambil telapak tangan kanannya
lurus kebawah badannya agak membungkuk sedikit. Itu tadi beberapa contoh dari
beberapa daerah yang masih murni. Jadi saya yakin asli bangsa kita ini atau
leluhur leluhur bangsa kita ini, sangatlah berbudi pekerti dan mempunyai sopan
santun yang sangat tinggi. Dalam tulisan ini sesungguhnya saya ingin mengajak
seluruh suku suku bangsa di Indonesia ini terutama orang Jawa untuk ingat
kembali kepada ajaran budaya dan adat istiadat leluhur masing masing. Saya percaya para orang orang tua dahulu
selalu mengajarkan kebaikan dan belum tersentuh dan terpengaruh budaya dari
luar serta politik asing. Batak,Padang,Kalimantan,Sunda,Bugis,Madura,Ambon dst
ingat kepada ajaran orang orang tua kita yang luhur untuk bersatu mengembalikan
keterpurukan Negeri tercinta ini. Budaya adalah pondasi
bangsa.
Sejatine wong Jowo tidak sekedar diajarkan
“ora ilok”,“ wedi dosa ”,” wedi kuwalat ” dan selalu ingat sama yang “ Nggawe
urip ”, tetapi dari bayi procot sudah diajarkan bagaimana kita hidup, perilaku
kita di Dunia, budi pekerti ajaran yang sangat luhur. Ini semua telah kita lupakan, dasar dasar perilaku hidup
ini kita lupakan dan terkadang kita hanya mendengar kotbah Surga Neraka saja. Jika
boleh saya mengusulkan kepada Mendikbud, mata pelajaran Budi Pekerti dimasukkan
dalam mata pelajaran pokok dan salah satu yang menentukan bisa lulus tidaknya
siswa. Sebahagian orang Jawa sudah lupa begitu banyak nasehat dan falsafah Jawa
yang masjhur,sampai orang Barat sendiri ingin mempelajarinya. Sebagai orang
Jawa marilah kita eleng eleng supoyo ora lali tetap ngleluri ajaran luhur hidup
orang Jawa.
Jakarta.2011
RM HS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar