Ketika ku
mengenangmu IBU
“
mBuuuull………………….maghrib !
Surup surup kok ndhik
njobo (maghrib maghrib kok diluar).” Teriak Ibu sambil masuk Jeding. “ Maghrib
maghrib itu masuuuk jangan terus dihalaman nggak iloh le, banyak setan lewat ! Sembahyang
sana ! nenuwun marang Gusti, ben slamet, pinter sekolahe, akeh rezekine.” Tak
lama adikku yang masih sekolah di Taman Siswa masuk, pulang. Sementara masih
kedengaran suara lembut ibuku dalam bahasa Jawa mendoa………………………… “ Duh Gusti
ingkang Moho Suci, Engkaulah yang membuat hidup dan mati, lindungilah kami dari
segala keburukan, sejahterakanlah kami, berikanlah kami jalan yang Engkau telah
tunjukkan Ya Allah, jadikanlah anak anakku orang yang senantiasa berguna untuk
keluarganya,saudaranya, orang tuanya, Agamanya serta Nusa dan Bangsanya. Ya
Allah berikanlah kami kesehatan lahir dan batin, terima kasih atas rezeki yang
telah Kau limpahkan kepada kami, Ya Allah, ampunilah kami………………………………. Amiiin.”
Hatinya tegar semangatnya besar, ingatannya tajam, kasihnya tulus. Dibibirnya
selalu penuh dengan doa doa panjang untuk kami anak anaknya, semoga
bahagia….semoga sejahtera…..semoga….semoga…………………………
Kuingat dua bait lirik
Iwan Fals dalam lagunya “ IBU “………seperti udara kasih sayang yang kau berikan,
tak sanggup kumembalas Ibuu…..Ibuuu.
“Penyakit jangan
dimanja ! katanya “ Mundak kerasan.” Ibu suka marah kalau kami gampang
menyerah. Ibuku pandai cerita, mendongeng. Dari mulai cerita Wayang, sejarah,
asal usul nama nama Kota di Jawa, Babad Tanah Jawi, juga jaman perang
Kemerdekaan, Bapak dicari cari oleh Belanda, rumah kami dibakar. Waktu
mengungsi, oleh Kakek ayah Ibuku, Bapak sekeluarga diambilkan daun Keladi yang
berdaun lebar kalau di Jawa namanya Bentul, masing masing disuruh pakai payung
daun tersebut, supaya matanya Belanda jadi “siwer” tidak melihat dan kami
sekeluarga selamat meneruskan pengungsian menyeberangi kali Laor. Didalam
pengungsian kakakku perempuan “kemasukan”dan menjadi pintar (dukun cilik). Dari
rumah yang dibakar tersebut yang tersisa adalah Tombak dan Keris Bapak yang
masih kusimpan sampai saat ini. Keanehan keanehan dan kesaktian kakek buyut
dijaman penjajah, ada yang tak bisa meninggal bila tubuhnya tidak dipisah pisah
akhirnya tubuhnya dipotong potong oleh Belanda ; Kepalanya ditancap di tonggak
ditaruh diperempatan jalan, lehernya di hanyutkan ke sungai sampai ke laut
selatan dan tubuhnya dikubur dibarat sungai Nggayam Panggul. Banyak lagi cerita
cerita serupa seperti itu bahkan cerita cerita Gaib yang mengasyikkan. Sampai
sekarang beberapa masih kuingat cerita itu. Apalagi cerita Wayang, antara lain
kisah Mahabharata, Karno Tanding, Bisma gugur, lahirnya Wisanggeni, lahirnya
Gatotkaca, Harjuno Sosrobahu serta yang lain lainnya. Dan aku paling suka tokoh
pewayangan Bima, Ksatria kedua Pandawa. Malah khusus kutempa, kupesan di tukang
pembuat Wayang kulit tetangga Ibu, kubawa ke Jakarta. Kala malam malam kuingat
tembang menjelang tidur itu (orang Jawa bilang di uru uru). Suara Ibu memang
merdu, sepotong yang kuingat.”Ojo turuu soreee kakii…ono Dewoo nganglang
jagad…………dan aku terlelap sampai pagi. Ayahku punya seperangkat Gamelan. Pabila
sore sore kami kumpul, Ayahku yang nggender atau nyiter, Ibu yang nembang. Pangkur,
Mocopat, Kinanti, Dandang gulo, Maskumambang dan masih banyak lagi. Kami larut dengan suara Ibu dalam
iringan gending gamelan Bapakku. Tenang
dan tenteram.
Ibuku adalah perempuan
kebanggaanku. Beliau serba bisa, tegas, pemberani dan sebagai wanita sangat
disegani. Ketrampilan Ibu banyak sekali, mulai dari menjahit, border, merajut
(mbentel), membuat tas dari manik manik, sampai anyaman rotan untuk tempat buah
atau hantaran. Apalagi memasak atau membuat kue, ahlinya. Bak merek Rumah makan
Padang “ Bundo Kanduang,” pasti enak dan sedap rasanya karena masakan Ibunya. Ada
semacam grup kolega Ibu yang selalu kumpul bila ada yang mantu atau selamatan
misalnya, beliau beliau itu membantu masak atau membuat kue, “mbiyodo” namanya. Masih jelas dibenakku
beliau beliau ini adalah ; Bu Sastro, bude Jupri, bu Mangku, bu Mul, atau bu
Puji bahkan Yu Yah ikut di grup Ibu ini,
aku masih menyimpan fotonya. Aku masih ingat bajuku model sendiri ala Ibu,
serta jaket rajutan (sweater) dari benang wool tebal
kebanggaanku. Aku masih memakainya
semasa SMA.
Ada banyak cerita lucu tentang Ibu ketika kami masih
tinggal dirumah besar. Disebut rumah besar karena rumahnya memang besar dengan
jendela yang tinggi dan besar, sebesar pintu rumah rumah jaman sekarang dan
pintunya apalagi, pintu pintu krepyak besar warna krem yang pegangan kuncinya
dari keramik oval berwarna putih, juga halaman serta pekarangan belakang yang
luas, ada pohon Kelapa, Kelengkeng, Jambu klutuk, Klampok (Jambu air),
Rambutan, pohon Genitu (sawo Belanda), Moris (sirsak), Menuwo, pisang, Pepaya,
Jeruk Bali yang besar besar itu, Belimbing buah, belimbing Wuluh, Kopi anjing
yang buahnya menempel dibatang pohon (barangkali termasuk langka sekarang ini),
Kelor, buah Mengkudu dan macam macam jenis tanaman disana bahkan pohon pohon
besar seperti Randu kapuk yang pohonnya kehijau hijauan menjulang tinggi, pohon
Asam dan lain lainnya. Dihalaman depan juga ada tanaman Kelengkeng yang bisa
dibuat ayunan dan aku pernah jatuh pingsan karenanya, serta beberapa tiang
tinggi tinggi kerekan burung Perkutut Ayahku selain dikanan kiri lisplang pendopo.
Disamping kanan ada jalan panjang kebelakang menuju garasi dan disisi kanannya
ada pohon jambu serta tanaman pagar entah apa namanya bunganya besar putih
putih wangi. Untuk memasuki rumah tersebut harus naik trap (undak undakan) hampir 1 meter lebih tingginya ke pendopo yang
ditengah tengahnya ada pot besar tempat Kuping Gajah yang ditanam Ibu. Agak
masuk sedikit kedalam yang masih terbuka ada meja marmer persegi delapan yang
hamper bundar serta beberapa kursi kayu yang berjok rotan mengelilinginya. Untuk
masuk keruang tamu dalam ada pintu kupu kupu besar. Dirumah induk ada 4 kamar
besar besar dikanan kiri dan 1 kamar sedang. Dikamar kiri depan kosong biasanya
untuk menginap tamu tamu famili, dikamar kiri tengah kamar keluarga yu Yah (mas
Ngadiman). Kamar depan kanan diisi seperangkat gamelan Bapak dan kamar Ibu di
tengah kanan, dibelakang kamar Ibu ada kamar satu lagi dan disebelah kamar
tersebut ada garasi mobil. Jadi posisi garasi ada dibelakang sedang dibelakang
garasi ada sepen (gudang) ada kamar lagi untuk pembantu dan dapur belakang,
ditengahnya halaman kosong yang bisa langsung menuju kepekarangan belakang yang
banyak tanamannya itu. Sebelah kiri belakang yang dibatasi halaman kosong
tersebut berhadap hadapan dengan Sepen, kamar pembantu dan dapur, ada satu
ruangan kosong dan disampingnya berderet tiga kamarmandi.Jadi dibagian belakang
ini ada atapnya tetapi kanan kirinya terbuka untuk menuju ke ruangan ruangan
tersebut seperti bangunan untuk orang jalan dirumah sakit. Bahkan rumah ini
katanya berhantu. Suatu hari Mas Di datang dari Lumajang berdua dengan anak
buahnya dan menginap dirumah. Waktu itu mas Paidi ini kalau nggak salah
Danramil disana, mas Di adalah suami dari yu Siti yang sekarang tinggal di
Bali, jadi menantu keponakan Ibu. Menjelang tengah malam Ibu terbangun karena
mendengar suara menderum derum seolah suara tersebut dari arah garasi, karena
kamar Ibu posisinya ditengah sebelah kanan dan lebih tinggi dari garasi maka
kedengaran jelas dari kamar Ibu. Ibuku ini orangnya kan pemberani, biasanya Ibu
kalau kedengeran sesuatu dan bilang Bapak ; “ Pak ono uwong !“ ( Pak ada
orang/maling!) Bapak hanya menyahut ; “ Tikus kuwi.” Dalam hal ini tak berpikir lama Ibu mengambil
sentolop (senter) dan pentungan lalu membangunkan mas Paidi yang sedang asyik
bermimpi. “ Di, Di, tangio ! montormu dicolong maling !” kata Ibu pelan
membangunkan mas Di (Di, Di, bangun! Mobilmu dicuri orang!). Akhirnya semua
bangun, juga supirnya mas Paidi langsung lari menuju garasi. Ternyata mobil
masih utuh disana tak kurang suatu apa, akhirnya semua masing masing masuk
kamar kembali melanjutkan mimpinya. Tidak lama kemudian terdengar lagi mobil
distarter orang, karena tidak enak Ibu bangun sendiri tak lupa senter dan
pentungan ditangan. Lewat didepan kamar supirnya mas Paidi tadi suara mobil
tambah kencang, usut punya usut ternyata pak supir tadi ngoroknya ngalahin
mesin diesel huuur…huuuur…rokhgg...huuuur…rokhggg…(mendengkur).
Paginya ketika ramai
ramai sarapan, ibu cerita tentang hal semalam, semua tertawa atas kejadian
tersebut, mana ada yang berani waktu itu orang nyuri mobil tentara, mobil sipil
saja maling takut,nggak seperti sekarang meleng sedikit amblas! Entah benar
entah tidak, sepengetahuanku menantu menantu keponakan baik dari pihak Bapak
atau Ibu sendiri, banyak menyayangi beliau ini. Sering mereka datang
mengunjungi kami dan sangat perhatian kepada Ibu ; Seperti yang kuingat mas
Nyoto dan yu Tiyah putra pakde Pardi, mas Haripi yang tentara putra pakde Nito
(saya masih ingat diberi oleh oleh mainan pistol pistolan), sekarang beliau
berada di Makasar, mas Musiran suami yu Sri yang di Talun Blitar (mas Musiran
ini sangat memuji muji Ibu), nak Mukasim suami Win Jember, orangnya agak
klotokan, ceplas ceplos tetapi baik hatinya, beliau ini yang menjemput saya dan
Tulus dari Pos Polisi Jember ke
Sumberwadung ketika kami mencari mereka. Ibu bercerita bahwa kasur beliau baru;
“ Dikirimi Mukasim.” kata Ibu, “ Iki kasure Yang Ti wis atos ! diganti ae,
ndhik kebon akeh kapuk ! ” begitu Ibu menirukan gaya nak Mukasim bicara. Waktu
itu kasur kebanyakan dari kapuk, bukan spring bed macam sekarang. Terakhir nak
Kasim mengolok olok saya ketika kami bertemu di Jakarta dan saya sudah ganti
mobil Kijang yang sebelumnya saya pakai sedan. “ Lha iki baru mobiiil, jangan
kayak kemarin, pak Mbung”katanya. Jadi aku ingat betul bahwa beliaunya ini suka
sekali dengan mobil minibus (artinya bisa rame rame, tidak egois barangkali). Sayang
sekali beliaunya ini tidak berumur panjang, dipanggil Sang Khaliq ketika main
tennis. Mas Iskak bapaknya Budi, juga sering datang kerumah. Mas Iskak ini ipar
iparan dengan mas Paidi yang ceritanya diatas mobilnya mau dicolong maling. Adalagi
mas No Wajak adik yu Lik Achmad Wajak, selalu menengok Ibu. Mas No ini pernah
sakit dan dirawat oleh Ibu, jadi semacam anak sendirilah. mas Dari apalagi,
sering sekali datang kerumah. Jadi akhirnya kami juga dekat dengan beliau
beliau ini serta ada kenang kenangan tersendiri.
Aku masih ingat juga
ketika Ibu memanggil bapak Guruku, Kepala Sekolah dan pak Polisi yang marah mau
menahanku, kerumah. Gara garanya Guruku kelas V SR (SD) waktu itu, menampar
murid perempuan teman sekelasku dan pingsan, sehingga aku dibawa ke Kantor
Polisi supaya bersaksi bahwa aku juga ditamparnya. Karena saya nggak ditampar
oleh Guruku tersebut, ya aku nggak mau bohong. Pak Polisi tersebut yang anak
perempuannya ikut bersaksi dan kebetulan juga sama sama teman sekelasku itu,
malah marah dan membentakku sambil menghentakkan bedilnya yang LE ke lantai
menakutiku dan berkata : “ Nek ora gelem ngaku, mengko kowe tak tahan tak
lebokke Bui ngarep kae !” (Kalau nggak mau ngaku, nanti kamu saya tahan dan
dimasukkan ke Sel di depan sana !). Saya tetap bilang tidak. Akhirnya disuruh
pulang. Jadi hari itu aku terlambat pulang. Ibu tidak suka kami mampir atau main
main dulu selepas sekolah. Harus pulang dulu.
Sebelum Ibu bertanya kenapa terlambat pulang, aku langsung ceritakan
kejadian tersebut kepada beliau. Keesokan harinya Ibu telah memanggil Kepala
Sekolah, Guruku dan ternyata juga pak Polisi yang membentak mbentakku kemarin. Sampai
sekarang masih kuingat namanya, Pak Hanjono. Sepintas kudengar diruang tamu
kata kata Ibu ke pak Hanjono yang Polisi tersebut.“Sekali lagi bapak membawa
anak saya ke Kantor Polisi dengan tidak sepengetahuan saya,pak Hanjono akan
saya tuntut. Bapak tahu bahwa anak saya masih dibawah umur,kelas V SR.” “ Ya
Bu, saya minta maaf.” Kata pak Hanjono. Dan Bapakku, dengan “diamnya”itu banyak
orang yang merasa segan. Pasangan yang cocok dengan Ibu. Sebulan kemudian bapak
Guruku tersebut dimutasi ke Sekolah lain. Sampai sekarang aku nggak habis pikir
apa ada jampi jampi atau doa doa Ibuku sehingga setiap orang yang dipanggilnya
mau saja datang kerumah. Ibu memang sangat dikenal dan disegani dikota kecilku
itu. Bila Ibu mau keJakarta, waktu itu diperlukan surat jalan dari Kelurahan
untuk bepergian, kami nggak perlu datang ke Balai Desa untuk mengambilnya, ada
staf Kelurahan yang segera mengantar surat jalan tersebut. Pokoknya bilang saja
“ Diutus bu Soekari.” (disuruh bu Soekari). Pasti 100% halal. Selain dikenal,
Ibu memang suka menolong, sampai sampai bila ada yang mendadak mau melahirkan
dan Bidan belum lagi datang, Ibu bahkan bisa dan mau menolongnya seperti dukun
bayi sampai anak itu lahir. Itu barangkali salah satu, kenapa masyarakat disana
banyak menghormatinya.
“ Ibukmu seperti Raden
Ajeng Kartini!” Kata salah seorang teman SR ku ketika Ibu datang kesekolah. Bahkan
menurutku, Ibuku lebih cantik dari Ibu Kartini yang sebenarnya. (maaf bu
Kartini ya). Ibu adalah wanita yang adil dan penuh kedisiplinan. Bangun jam
setengah 4 pagi dan kami sudah sarapan jam 6 pagi. Kedisiplinan itu berlaku
bagi kami semua. Sesudah kakak perempuanku, sampai kelas 2 SMP aku masih bertugas belanja sayur ke Pasar. Dahulu ke
Pasar mesti membawa keranjang sendiri dari rumah, tidak seperti sekarang, kita
diberikan kantong plastik oleh penjualnya sehingga menimbulkan banyak limbah. Keranjang
plastik tersebut saya letakkan dibelakang punggung, pegangannya kumasukkan
ketangan sampai kebahu kanan kiri seperti sayap R.Gatotkaca. Berjalan menuju
pasar sambil menghafal apa yang mau dibeli, pada waktu itu malu rasanya apabila
belanja membawa catatan. Bila kami tidak tahu kualitas barangnya, misalnya beli
ikan, selalu bilang saja “ Diutus bu Soekari.” Pasti beres. Aku mempunyai 2
saudara kandung dan 3 saudara angkat yang diambil sejak bayi oleh Ayah Ibu,
yang 1 tidak jelas, yatim piatu dan Ibu tidak pernah menjelaskan siapa dia dan
yang dua adalah keponakan Bapak, putera dari pak De. Karena sikap Ibu yang adil
dan bijak,tidak ada diantara kami yang kandung merasa ada anak angkat. Itupun
sungguh aku baru tahu setelah SMA bahwa beberapa kakakku adalah keponakan Ayah. Ibuku
senang berpuasa dan tirakat,sehingga kami atau paling tidak aku sampai saat ini
terbiasa dengan hal itu. Sekali sekali kami diajaknya ikut tidur dilantai dekat
pintu, meninggalkan kasur kami yang empuk. Tirakat. Ada sesuatu hal yang
penting ritual yang selalu dilakukan Ibu kepadaku, semisal aku mau ujian, Ibu
selalu melangkahi aku berulang 3 kali dan aku menunduk jongkok sambil
merapatkan kedua telapak tanganku seperti menyembah. Itu beliau lakukan
terakhir ketika aku pergi ke Jakarta ini.
Ibuku memang luar
biasa. Ibu adalah kebanggaanku, seperti kata kata penyair. “ Ibuku Cuma satu,
tapi wajah hatinya kulihat diserba mana. Ibuku Cuma Ibunda, antara kami ada
pesona rengkuhan kuat teramat ghaib dan terasa diriku seperti lumut ganggang
laut. Panjang terentang menyibak muka air, mengembara dengan ketumbuhan
pucuknya. Tapi akarku tetap menghunjam kedada Bunda. Ibuku Cuma satu, tapi
wajah hatinya kulihat diserba mana.”
Delapan bulan kurang
lebih Ibu di Jakarta dimana anak anaknya tinggal. Itupun untuk memboyong Ibu
kemari susahnya setengah mati. Dengan segala usaha dan rayuan akhirnya Ibu mau
juga. “ Panas disini, aku tak tahan.” Katanya, “ Pulang saja, aku ndak apa apa
disana, aku akan lebih sehat disana, dirumahku sendiri.” Dan terakhir, Ibu
seolah olah menakut nakuti kami. “ Pesan Swargi (almarhum) Bapakmu, aku ndhak
boleh meninggalkan rumah lama lama, bahkan aku harus mati disana. Kasihan
Bapakmu nek aku tinggal disini. Kemarin aku ngimpi Bapakmu rawuh (datang), aku
mau diajak pergi…………. Dhawuhe Bapakmu nangkono luwih enak.” (kata Bapakmu
disana lebih enak).
Semula memang aku
ingin Ibu tinggal bersama kami diJakarta, dengan pertimbangan, Ibu sudah sepuh,
tinggal sendiri dirumah bersama dengan keponakkanku yang masih sekolah dan
seorang pembantu. Dan yang lebih merisaukan kami, Ibu punya darah tinggi, bila
mendadak ada apa apa kami terpisah 1000 kilo, tidak bisa setiap saat menengok
beliau. Memang ada salah satu keponakanku perempuan sudah berkeluarga yang
sangat disayang oleh Ibu disana, tapi tak serumah, mereka agak jauh juga rumah
tinggalnya. Pernah suatu waktu aku terima kabar dari keponakkanku yang bersama
Ibu ; “ Yangti gerah, nek biso pak Mbung kondur.”( Yangti sakit, kalau bisa pak
Mbung (panggilan akrab kepadaku dari semua keponakan keponakanku) pulang). Langsung
aku minta ijin Kantor dan berangkat pulang. 1 hari semalam perjalanan, pagi
sampai, dengan rasa penuh kekuwatiran mobilku kencang masuk kampung, persis
didepan rumah, kulihat Ibu sedang bercanda di teras dengan keponakanku
tersebut. Alhamdulillah. Rupanya Ibu hanya kangen dengan kami. Tapi cutiku
habis dibuatnya. (Dalam hal ini saya sangat berterimakasih kepada mbak Tatik
Bidan sebelah rumah Ibu yang selalu control dan perhatian bila Yang Ti sedang
sakit,begitu beliau memanggil Ibu). Semula aku membayangkan Ibu pasti akan
senang tinggal di Jakarta, walaupun meninggalkan cucu kesayangannya di kampung.
Seandainya sedang tak berkenan di tempatku, ya kerumah kakak perempuanku, kalau
sudah nggak kerasan dirumah kakak, ya bisa kerumah adikku. Begitu seterusnya.
Dan kenyataannya tak bisa. Nggak semudah itu. Ternyata banyak hal yang kita tak
mengerti kehendak orang yang kita cintai ini. Banyak contoh contoh serupa
seperti ini dan kebanyakan orang tua tidak mau meninggalkan rumahnya. Ibu tak
bisa ikut arisan atau aktif dikumpulan Ibu Ibu koleganya seperti disana
dirumahnya,orang orang teman teman seusianya yang telah bertahun tahun bergaul
dan mengenalnya. Ibu akan susah menyesuaikan peradaban dan ritme Jakarta yang
begitu sibuk se olah olah semua dikejar kejar oleh waktu, semua dihitung dengan
uang. Beda dengan disana, dirumahnya. Tenang, tenteram tidak kesusu susu,
damai. Dan banyak hal hal lain yang menjadikan Ibu tak bisa tinggal menetap di
Jakarta sini. Terakhir timbul ide supaya Ibu mau tinggal di Jakarta. Ibu harus
punya rumah sendiri disini, tetapi dekat dengan kami. Ibu akan berkuasa
dirumahnya sendiri seperti disana. Tetapi hal ini harus siap dana, sebuah rumah
di Jakarta bukanlah hal yang sedikit. Halaman rumahku memang luas, kalau Ibu
mau bisa dibangun rumah kecil kecilan untuk beliau, tapi ini bukan jalan
keluar, masalahnya Ibu ndhak setuju. Atau lebih baik rumah Ibu dijual,
dibelikan disini, kekurangannya kita tanggung rame rame, patungan (urunan). Semua
setuju. Ibu yang tak setuju. Katanya : “ Aku ora biso tinggal di Jakarta ngger,
Ibu nggak mau mati disini.
Kasian Bapakmu.” Jalan buntu………………………….
Kesehatan Ibu semakin
berkurang dan selalu ingin pulang. Biar bagaimanapun ternyata beliau harus
pulang dan kami harus cari jalan keluar lainnya bagaimana disana nanti. Kami
kalah…………………… Tapi ada satu jalan keluar lagi. Kami kan berempat (tambah satu
kakak angkatku). Setahun kan 12 bulan dibagi 4 sama dengan 3. Jadi 3 bulan
sekali ada yang pulang mengunjungi Ibu, dengan perhitungan cuti kan setahun
sekali. Setuju. Tapi pelaksanaannya tak begitu. Aku tak tahu apa yang ada
dipikiran Ibuku. Apa benar memang Ibu ingin selalu dekat dengan Bapak. Demi
kebahagiaan beliau akhirnya Ibu pulang, lucunya Ibu kelihatan sehat
bersemangat. Tiga bulan setelah itu, Ibuku betul betul pulang menyusul Ayah. Aku
termenung memaknai semua ini. Maafkanlah kami Ibu dan Ya Allah ya Tuhanku,
ampunkanlah dosa dosanya,
terimalah Ibu dan
Ayahku di SurgaMU. Amiiin.
………….Seperti udara
kasih sayang yang kau berikan, tak sanggup ku
membalas………….Ibuuu………………………..Ibuu.
JAKARTA, 22 Januari
1993 Peringatan seribu hari wafatnya ibundaku tercinta Soekarmi. RMHS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar